Rabu, 23 Juni 2010

Prospek dan Tantangan Ekonomi Syariah di Indonesia

Prospek dan Tantangan Ekonomi Syariah di Indonesia
1
Oleh : Adiwarman A. Karim
Perkembangan bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen terhadap UU
No. 7/1992 menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan landasan operasi yang lebih
jelas bagi bank syariah. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bank Indonesia (BI) mulai
memberikan perhatian lebih serius terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu
membentuk satuan kerja khusus pada April 1999. Satuan kerja khusus ini menangani
penelitian dan pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan Bank
Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal
bakal bagi Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei 2001, dan sekarang
resmi menjadi Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia sejak Agustus 2003.
Dengan semakin banyakya jumlah bank syariah, struktur pasar syariah pun berubah
dari monopoli menjadi oligopoly, yang menyebabkan semakin tingginya tingkat
persaingan diantara bank syariah. Sehingga, agar mampu bersaing dengan bank
konvensional, bank inipun merubah strateginya. Sampai dengan Desember 2003,
pemain dalam industri perbankan syariah terdiri dari 2 bank umum syariah (BUS) dan 8
unit usaha syariah (UUS) dari bank umum konvensional (BUK) yang seluruhnya memiliki
jaringan kantor berjumlah 119 KCS (Kantor Cabang Syariah), serta 84 BPRS (Bank
Perkreditan Rakyat Syariah). Peningkatan jumlah pemain dalam industri perbankan
syariah terlihat cukup pesat bila dibandingkan keadaan akhir tahun 1998 yang hanya
berjumlah 1 BUS dengan 8 KCS dan 78 BPRS.
Sampai dengan bulan Maret 2004, pemain dalam industri perbankan syariah terdiri
dari 2 BUS dan 11 UUS dari BUK. BUS dan UUS yang sudah ada saat ini adalah Bank
Muamalat, Bank Syariah Mandiri, Bank Rakyat Indonesia Syariah, BNI Syariah, Bank
Danamon Syariah, Bank IFI Syariah, Bank Jabar Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank
International Indonesia Syariah, HSBC, Ltd dan Bank DKI (Maret 2004).
Konsultan Bisnis Syariah dari Karim Business Consulting
1
1


Tabel 1. Perkembangan Jumlah Kantor Cabang Syariah
114
116
120
100
80
68
HO/S BU
59
BO/HOO
60
48
43
SBO
CO
40
26
28
26
19
15
12
14
20
11
10
9
8
8
7
3
5
5
5
3
1
1
1
0
0
1995 1997 1999 2000 2001 2002 2003
Keterangan Tabel
HO :
Head office
SBU :
Shariah Banking Unit
BO :
Branch Office
SBO :
Sub Branch Office
CO :
Cash Office
Minat investor untuk membuka kantor bank syariah tidak hanya terbatas di pulau
Jawa tetapi juga telah menyebar ke pulau lainnya, antara lain: Sumatera (Banda Aceh,
Medan, Padang, Palembang dan Pekanbaru); Kalimantan (Balikpapan dan
Banjarmasin); Sulawesi (Makasar); Madura (Pamekasan); dan Irian Jaya (Jayapura).
Dengan perkembangan terakhir tersebut jaringan perbankan syariah telah meliputi 18
propinsi. Selain itu, pada saat ini terdapat sejumlah BUK yang sedang dalam proses
untuk membuka UUS, yakni Bank Syariah Indonesia (Bank Tugu), Bank Central Asia
(BCA), Bank Sumut, Bank Tabungan Negara, Bank Niaga, Bank Riau, Bank Permata,
Bank CIC, Bank Bumiputera, dan Bank Kalsel.
Pada 2004, diperkirakan akan terdapat 10 bank lagi yang akan menawarkan jasa
perbankan syariah. Ini artinya, pencapaian jumlah perbankan syariah selama 12 tahun
di masa sebelumnya (1992-2003) yang mencapai 10 bank, dapat dicapai hanya dengan
waktu 12 bulan di tahun 2004. Hal ini merupakan sebuah fenomena menarik bagi
industri perbankan khususnya pada perbankan syariah.
2

Potensi dan Prospek Pasar Perbankan Syariah
Persaingan antar bank syariah, dan antara bank syariah dengan bank konvensional
tidak lepas dari segmentasi yang ada di pasar perbankan di Indonesia. Segmentasi
pasar perbankan dapat dibagi menjadi 3 segmen, yaitu segmen
conventiona
l, segmen
floating mass
dan semen
shariah loyalist
. Segmentasi ini berlaku baik untuk pasar
pembiayaan maupun pasar pendanaan.
Diagram –
Segmentasi Pasar Perbankan Nasional
Pembiayaan
Pembiayaan
Dana Pihak Ketiga
Dana Pihak Ketiga
Selisih rate
Selisih rate
Selisih rate
Selisih rate
Konvensi onal
Konvensi onal
Nasabah akan memilih bank
Nasabah akan memilih bank
syariah bila selisih
syariah bila selisih
rate
rate
bank
bank
Nas abah akan memilih bank
Nas abah akan memilih bank
syari ah l ebi h kecil 2–3 %
syari ah l ebi h kecil 2–3 %
syariah bila bagi hasil bank
syariah bila bagi hasil bank
> 2 - 3 %
> 2 - 3 %
dibawah bunga bank
dibawah bunga bank
< 2 - 3 %
< 2 - 3 %
syariah lebih besar 2–3 %
syariah lebih besar 2–3 %
konvensi onal /Lembaga
konvensi onal /Lembaga
di at as bunga bank konvensi onal
di at as bunga bank konvensi onal
Keuangan Bukan Bank (NBFI)
Keuangan Bukan Bank (NBFI)
Pi li han nasabah dit ent ukan ol eh
Pi li han nasabah dit ent ukan ol eh
Pi li han nasabah dit ent ukan ol eh
Pi li han nasabah dit ent ukan ol eh
0 % 0 %
0 % 0 %
Fl oati ng
Fl oati ng
faktor
faktor
non-pri ce
non-pri ce
faktor
faktor
non-pri ce
non-pri ce
Nasabah akan memilih bank
Nasabah akan memilih bank
Nas abah akan memilih bank
Nas abah akan memilih bank
syari ah wal aupun bagi hasil
syari ah wal aupun bagi hasil
syari ah wal aupun s el i sih rat e
syari ah wal aupun s el i sih rat e
bank syariah lebih kecil 1-2 %
bank syariah lebih kecil 1-2 %
> 1 – 2 % < 1 – 2 %
> 1 – 2 % < 1 – 2 %
bank syariah lebih besar 1-2 %
bank syariah lebih besar 1-2 %
dibawah bunga bank
dibawah bunga bank
di at as bunga bank
di at as bunga bank
konvensi onal
konvensi onal
konvens ional /Lembaga
konvens ional /Lembaga
Keuangan Bukan Bank (NBFI)
Keuangan Bukan Bank (NBFI)
Syar iah
Syar iah
Dari segi pasar pembiayaan, perbedaan ketiga segmen ini terletak pada
pandangannya terhadap biaya yang harus dibayar oleh nasabah suatu bank (pasar
pembiayaan) atau penghasilan yang diterima (pasar pendanaan). Segmen konvensional
akan memilih bunga karena bunga dianggap mencerminkan
cost
yang menguntungkan
dari segi pembiayaan atau
return
yang menguntungkan dari segi pendanaan.
Sedangkan segmen
shariah loyalist
akan memilih bank syariah, walaupun selisih
rate
3

bank syariah berada 1-2 % diatas bunga bank konvensional/Lembaga Keuangan Bukan
Bank (NBFI) dari segi pembiayaan, dan 1-2% lebih rendah dari segi pendanaan.
Sebaliknya, segmen
floating mass
akan cenderung memilih biaya yang paling rendah
atau return yang paling tinggi. Pemilihan bank syariah akan terjadi apabila selisih
rate
bank syariah lebih kecil atau lebih besar 2-3% dari bank konvensional atau Lembaga
Keuangan Bukan Bank.
Dari segi
market size
, segmen terbesar justru terdapat pada segmen
floating mass
.
Sebaliknya segmen terkecil terdapat pada segmen
shariah loyalist
. Menurut estimasi
KARIM Business Consulting (2003), pangsa pasar segmen
floating mass
diperkirakan
mencapai Rp 720 triliun. Sedangkan
segmen conventional
dan segmen
shariah loyalist
masing-masing mencapai Rp 240 triliun dan Rp 10 triliun.
Disamping
market size
yang sangat besar dari segmen
floating mass
, sesuai
namanya, segmen ini mencerminkan suatu segmen yang memiliki perilaku yang dapat
bergerak ke posisi memilih produk-produk bank konvensional atau memilih produk-
produk bank syariah. Akibatnya, suatu bank yang menyediakan jasa bank konvensional
dapat kehilangan nasabah bila tidak mampu menyediakan jasa bank syariah.
Segmen
shariah loyalist
, disisi lain, mencerminkan suatu segmen yang anti terhadap
pelayanan bank konvensional. Sikap ini disebabkan pandangan bahwa bunga sama
dengan riba (haram atau terlarang). Akibatnya, bank konvensional akan sulit
mempenetrasi segmen ini. Dalam realitanya, bank-bank syariah yang merupakan bagian
dari
dual banking systems
(merupakan Unit Usaha Syariah dalam suatu bank
konvensional) juga akan mengalami kesulitan mempenetrasi segmen ini karena
pandangan segmen ini yang cenderung mencari
return
dari simpanannya yang “benar-
benar halal”. Segmen ini tampaknya lebih mudah menjadi target pasar dari bank-bank
syariah yang berdiri sendiri seperti Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri.
Tantangan: Overheating Perbankan Syariah
Ibarat mobil, bank syariah memulai debutnya di awal 2004 dengan kecepatan tinggi.
Layaknya sebuah mobil, gejala kepanasan mesin (
over-heating
) juga dialami
perekonomian termasuk perbankan syariah Dalam konteks ekonomi makro,
over-
heating
ditandai dengan laju inflasi yang cepat melebihi laju pertumbuhan ekonomi,
sehingga secara riil pertumbuhan malah mengalami pertumbuhan negatif. Dalam
konteks bank syariah,
over-heating
ditandai dengan pertumbuhan yang cepat, naiknya
pembiayaan bermasalah, dan turunnya bagi hasil kepada nasabah dana pihak ketiga
(DPK). Pada tingkat yang parah
over-heating
mempunyai dampak seperti terjangkit
penyakit demam berdarah yakni panas tinggi diikuti dengan pendarahan (
bleeding
).
4

Dalam konteks perbankan konvensional,
bleeding
terjadi ketika pendapatan bunga lebih
kecil daripada biaya bunga. Sedangkan dalam konteks perbankan syariah,
bleeding
terjadi ketika pendapatan pembiayaan lebih kecil daripada biaya
overhead
.
Ada dua cara mengatasi
over-heating
, yakni memperlambat laju pertumbuhan atau
mempersiapkan sistem untuk tumbuh dengan cepat.. Pilihan pertama tentu tidak
diinginkan oleh siapapun, mulai dari BI, pelaku ekonomi, masyarakat luas, maupun MUI.
Pilihan kedua yang harus sama-sama kita rumuskan. Sistem prosedur yang handal,
sumberdaya manusia berkualitas tinggi, dan sistem pengawasan khusus diperlukan
untuk terus berkembang secara fantastis.
Tingkat pembiayaan bermasalah perbankan syariah memang hanya separuh
dibandingkan perbankan konvensional. Namun bila dilihat pergerakannya rasanya ini
saat yang tepat untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. Secara persentase nilainya
relatif stabil, 4,12% (Des 2002), 3,96% (Mar 2003), 3,93% (Jun 2003), 3,96% (Sep
2003), 3,67% (Oct 2003), 3,39% (Nov 2003). Dalam keadaan pembiayaan bertumbuh
demikian cepat, stabilnya angka ini bukan merupakan suatu yang menggembirakan; bila
pembagi bertambah besar, dan hasilnya sama, itu berarti yang dibagi pun bertambah
secepat pembaginya.
Secara nominal pembiayaan macet naik dari bulan ke bulan dari Rp 53 miliar
(Desember 2002) menjadi Rp 71 miliar (November 2003). Pada kurun waktu yang
sama, pembiayaan kurang lancar naik dari Rp 51 miliar menjadi Rp 84 miliar,
pembiayaan dalam perhatian khusus naik dari Rp119 miliar menjadi Rp 344 miliar.
Lonjakan DPK membuat bank-bank syariah kelebihan likuiditas, yang terlihat jelas
dari naiknya jumlah dana bank syariah yang ditempatkan pada Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia (SWBI). Pada saat yang bersamaan tugas Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) selesai. Dengan selesainya tugas BPPN, ratusan ribu asset yang
semula di BPPN kembali ke pasar, sekarang dapat di restrukturisasi, di biayai ulang,
dan aktif kembali. Tersedianya kelebihan likuiditas dan tersedianya asset ex BPPN
yang siap dibiayai dapat jadi campuran kimia yang pas untuk menggenjot pertumbuhan
pembiayaan. Inilah urgensi tulisan ini. Prinsip kehati-hatian dalam pemberian
pembiayaan harus diutamakan daripada memproduktifkan dana yang tersimpan di
SWBI. Bukankah kaidah fikih mengatakan
dar-ul mafasid muqaddam ‘ala jabbal
mashalih
(mendahulukan mencegah mudarat lebih utama daripada mencari manfaat).
Pilihan kedua adalah dengan membeli obligasi syariah maupun
medium term notes
(MTN) syariah yang semakin marak. Dari aspek kesyariahan tentu maraknya instrumen
ini patut disyukuri. Namun hal itu jangan sampai melupakan konsekuensi risiko dari
suatu obligasi korporasi, dalam hal ini rating yang didapatkannya dari Pefindo
5

(Pemeringkat Efek Indonesia). Saat ini, belum semua dari 6 obligasi syariah dan 1 MTN
syariah yang diterbitkan, yang menyandang rating minimal A-. Meskipun kita sama tahu
untuk investment grade (layak investasi) tidak perlu A-. Walaupun risiko gagal bayar
memang baru akan muncul 5-7 tahun kemudian, namun setidaknya hal ini patut
dicermati secara seksama.
Bagi hasil DPK bank-bank syariah memang lebih tinggi daripada suku bunga. Ketika
suku bunga (saat ini) sekitar 6%, bagi hasil dapat mencapai 9%. Di satu sisi tentu ini
menggembirakan. Di sisi lain, hal ini juga harus dicermati terutama penurunan bagi
hasilnya. Dalam bank syariah, bagi hasil DPK merupakan refleksi langsung pendapatan
pembiayaan sehingga merupakan refleksi tidak langsung kualitas pembiayaan. Pada
perbankan konvensional, bunga ditentukan dalam rapat ALCO (
Asset & Liabilily
Committee
) yang tidak merefleksikan langsung kinerja di sisi asset. Sehingga bila
sekarang bunga 6%, bulan depan dapat saja meningkat menjadi 7%, 8%, atau bahkan
9% tanpa perlu adanya perbaikan kinerja kredit. Tidak demikian halnya di bank syariah,
apalagi kalau kita mengetahui bahwa 72% pembiayaan yang disalurkan perbankan
syariah adalah murabahah (pembiayaan jual beli dengan cicilan tetap) yang secara
teoritis akan memberikan tingkat
rate
pendapatan yang tetap. Bila kemudian bagi hasil
DPK menurun, maka ada dua kemungkinan. Pertama, bank syariah menurunkan
nisbah bagi hasil nasabah. Kedua, kinerja pembiayaan memburuk. Untuk yang
pertama, tentunya bank syariah harus meminta kesepakatan nasabah akan nisbah baru
tersebut. Penurunan nisbah tanpa kesepakatan nasabah, tentu menyalahi syariah.
Untuk yang kedua, patut dicermati dengan lebih hati-hati.
Pada aspek pengawasan syariah, sungguh tidak mudah untuk bertanggung jawab
atas pengawasan syariah mengingat demikian kompleksnya transaksi perbankan.
Menimpakan beban berat ini hanya kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS) bukanlah
cara yang realistis. Pengawasan syariah sepatutnya merupakan tanggung jawab
bersama semua
stakeholders
. Selain DPS yang bertanggung jawab pada aspek
syariahnya, untuk aspek operasional pengawasan syariah paling tidak harus dilakukan
oleh audit internal bank, direktur kepatuhan, bahkan komisaris harus ikut menjaga
kepatuhan syariah. Audit ekstern yang dilakukan oleh kantor akuntan publik juga tidak
boleh melewatkan begitu saja adanya pelanggaran atas kepatuhan syariah. Dan
tentunya BI bertanggung jawab sebagai otoritas perbankan. Semua institusi ini sesuai
kompetensi dan wewenangnya masing-masing harus bahu membahu menjalankan
fungsi pengawasan syariah.
Catatan Akhir : Peranan DPS, DSN dan Regulasi BI
6

Pertemuan puncak Sidang Umum
Islamic Financial Services Board
(IFSB) yang baru
berakhir pada 3 April lalu di Bali yang dihadiri delegasi bank sentral yang di negaranya
memiliki perbankan syariah, juga dihadiri oleh IMF, Bank Dunia, dan tentunya IDB,
membahas harmonisasi regulasi perbankan syariah secara internasional. Hal ini untuk
mengantisipasi perkembangan perbankan syariah yang semakin fenomenal.
Menurut Gubernur Bank Indonesia yang ditunjuk sebagai Ketua IFSB, ada tiga level
regulasi perbankan syariah.
Pertama
, level nasional dimana peran dewan syariah di
masing-masing negara sangat penting dalam menetapkan aspek syariahnya.
Kedua
,
level infrastruktur, dimana IFSB dan
Accounting & Auditing Organization for Islamic
Financial Institutions
(AAOIFI) lah yang berperan. Ketiga, level international dimana
diharapkan adanya dewan syariah internasional yang dapat berperan mengharmonisasi
berbagai opini syariah di masing-masing negara. Dengan kata lain, peran Dewan
Syariah dalam mengawal perbankan syariah agar tetap bergerak dalam koridor syariah
dirasakan sangat penting, baik di level nasional maupun internasional.
PP no.72/ 1992 menjelaskan bahwa “Kedudukan Dewan Pengawas Syariah dalam
organisasi bank bersifat
independen
dan
terpisah
dari kepengurusan bank sehingga
tidak mempunyai akses terhadap operasional bank. Dewan Pengawas Syariah
mempunyai tugas menentukan boleh tidaknya suatu produk / jasa dipasarkan atau suatu
kegiatan dilakukan, ditinjau dari sudut syari’at. Oleh karena itu anggota-anggota Dewan
Pengawas Syariah harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai
syari’at”.
Congratulation for the second time!
Aturan inilah yang juga diadopsi oleh
AAOIFI lima tahun kemudian tepatnya pada meeting ke 13 tanggal 15-16 Juni1997.
AAOIFI menegaskan “
A sharia supervisory body is an independent body of specialized
jurists in fiqh muamalat
”. Keterpisahan dewan ini dari kepengurusan bank juga diadopsi
oleh AAOIFI yang secara eksplisit menyebutkan “
the sharia supervisory board should
not include directors or significant shareholders of the islamic financial institution
”.
Dibandingkan dengan bank sentral lain, kinerja BI dalam mengeluarkan regulasi
perbankan syariah patut diacungi jempol. Dalam periode yang relatif singkat
produktifitas BI dapat dikatakan yang tertinggi. Berbagai PBI tentang bank syariah telah
diterbitkan, juga regulasi lainnya seperti Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) no.59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang dikeluarkan bersama Ikatan
Akuntansi Indonesia (IAI), dan di review oleh DSN MUI. Terbitnya PSAK 59
menunjukkan adanya kerjasama yang baik antara ketiga lembaga tersebut.
7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar