Jumat, 25 Juni 2010

hukum islam

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk ikut berpartisipasi dalam seminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara yang diselenggarakan mulai hari ini. Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya adalah ahli di bidang Hukum Islam, mengingat fokus kajian akademis saya adalah hukum tatanegara. Namun mengingat topik seminar ini adalah transformasi syariat Islam ke dalam hukum nasional, maka titik singgungnya dengan hukum tata negara, sejarah hukum, sosiologi hukum dan filsafat hukum kiranya jelas keterkaitannya. Bidang-bidang terakhir ini juga menjadi minat kajian akademis saya selama ini. Sebab itulah, saya memberanikan diri untuk ikut berpartisipasi dalam seminar ini, dengan harapan, sayapun akan dapat belajar dari para pemakalah yang lain dan para peserta seminar ini. Saya bukan pura-pura tawaddhu’, karena saya yakin sayapun dapat berguru menimba ilmu dengan mereka.

Akar Historis dan Sosiologis Hukum Islam

Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara tetangga.

Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.

Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.

Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.

Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa kemudian.Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru.

Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer yang terkenal itu. Saya masih menyimpan buku antik Compendium Freijer itu yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.

Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu.

Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan ituterjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.

Hasil telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat ini tidak terlepas pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing -– terutama Cina dan India — sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.

Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah …(Bersambun

Rabu, 23 Juni 2010

KOPERASI SYARIAH ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN

Perkembangan koperasi di Indonesia yang sangat tidak membahagiakan di Indonesia belakangan ini justru diwarnai dengan perkembangan koperasi dengan sistem syariah. Koperasi syariah justru berkembang ditengah ribuan koperasi di Indonesia yang terhenti usahanya. Sebab, hingga kini ternyata sudah ada 3000 koperasi syariah di Indonesia yang mampu menghidupi 920 ribu unit usaha kecil.

Mungkin fenomena itu menjadi sesuatu yang mencengangkan. Sebab ditengah pesimisme masyarakat terhadap kemampuan koperasi, koperasi syariah justru mulai menunjukkan eksistensinya, meskipun belum banyak dikenal masyarakat luas. Namun ditengah kondisi masyarakat yang menyangsikan koperasi syariah tersebut, ada harapan besar bagi koperasi syariah untuk tumbuh dan berkembang. Sebab cara kerja koperasi yang mengedepankan asas kebersamaan dan keadilan, koperasi syariah menjadi unit usaha yang berprespektif. Sebab unit usaha yang dibangun dengan sistem syariah selama ini, nampaknya mulai menjadi lirikan masyarakat.

Ditengah perkembangan masyarakat muslim yang mulai sadar dan membutuhkan pengelolaan syariah, nampaknya menjadi lahan subur bagi koperasi syariah untuk tumbuh dan berkembang. Sehingga manfaat berganda dari pengelolaan koperasi syariah bagi para anggota dan pengelolanya.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Suryadharma Ali, mengakui hal itu. Sebab menurutnya, disaat lembaga keuangan perbankan umumnya masih sulit untuk diakses KUKM saat ini, pola Koperasi Jasa Keuangan Syariah ( KJKS ) bisa menjadi lembaga keuangan yang potensial bagi anggotanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pengembangan usahanya yang produktif. Namun, belum banyak yang mengetahui keuntungan bisnis koperasi syariah.

Tentu saja ada sebab dibalik geliat ekonomi koperasi syariah ditanah air ini. Mungkin selama ini, koperasi syariah sangat familiar dikalangan pesantren. Sebab selama ini, mereka sangat erat mengembangkan ekonomi. Lantas, bagaimanakah sebenarnya prinsip kerja koperasi syariah itu ditengah harapan dan tantangan berkembangnya berbagai sistem ekonomi, yang bisa dikatakan berkembang pesat?

kalmax

Karl Marx adalah seseorang yang lahir dari keluarga progresif Yahudi.[1] Ayahnya bernama Herschel, keturunan para rabi, walaupun begitu ayahnya cenderung menjadi deis, yang kemudian meninggalkan agama Yahudi dan beralih ke agama resmi Prusia, Protestan aliran Lutheran yang relatif liberal untuk menjadi pengacara.[1] Herschel pun mengganti namanya menjadi Heinrich.[1] Saudara Herschel, Samuel — seperti juga leluhurnya— adalah rabi kepala di Trier.[1] Keluarga Marx amat liberal dan rumah Marx sering dikunjungi oleh cendekiawan dan artis masa-masa awal Karl Marx.[1]

[sunting] Pendidikan

Marx menjalani sekolah di rumah sampai ia berumur 13 tahun.[2] Setelah lulus dari Gymnasium Trier, Marx melanjutkan pendidikan nya di Universitas Bonn jurusan hukum pada tahun 1835.

Pada usia nya yang ke-17, dimana ia bergabung dengan klub minuman keras Trier Tavern yang mengakibatkan ia mendapat nilai yang buruk.[2] Marx tertarik untuk belajar kesustraan dan filosofi, namun ayahnya tidak menyetujuinya karena ia tak percaya bahwa anaknya akan berhasil memotivasi dirinya sendiri untuk mendapatkan gelar sarjana.[2] Pada tahun berikutnya, ayahnya memaksa Karl Marx untuk pindah ke universitas yang lebih baik, yaitu Friedrich-Wilhelms-Universität di Berlin.[2]Pada saat itu, Marx menulis banyak puisi dan esai tentang kehidupan, menggunakan bahasa teologi yang diwarisi dari ayahnya seperti ‘The Deity’ namun ia juga menerapkan filosofi atheis dari Young Hegelian yang terkenal di Berlin pada saat itu.[2] Marx mendapat gelar Doktor pada tahun 1841 dengan tesis nya yang berjudul ‘The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature’ namun, ia harus menyerahkan disertasi nya ke Universitas Jena karena Marx menyadari bahwa status nya sebagai Young Hegelian radikal akan diterima dengan kesan buruk di Berlin.[2] Marx mempunyai keponakan yang bernama Azariel, Hans, dan Gerald yang sangat membantunya dalam semua teori yang telah ia ciptakan.[2]

Di Berlin, minat Marx beralih ke filsafat, dan bergabung ke lingkaran mahasiswa dan dosen muda yang dikenal sebagai Pemuda Hegelian.[2] Sebagian dari mereka, yang disebut juga sebagai Hegelian-kiri, menggunakan metode dialektika Hegel, yang dipisahkan dari isi teologisnya, sebagai alat yang ampuh untuk melakukan kritik terhadap politik dan agama mapan saat itu.[2]

Pada tahun 1981 Marx memperoleh gelar doktor filsafatnya dari Universitas Berlin, sekolah yang dulu sangat dipengaruhi Hegel dan para Hegelian Muda, yang suportif namun kritis terhadap guru mereka.[1] Desertasi doktoral Marx hanyalah satu risalah filosofis yang hambar, namun hal ini mengantisipasi banyak gagasannya kemudian.[1] Setelah lulus ia menjadi penulis di koran radikal-liberal.[1] Dalam kurun waktu sepuluh bulan bekerja disana menjadi editor kepala.[1] Namun, karena posisi politisnya, koran ini ditutup sepuluh bulan kemudian oleh pemerintah.[1]Esai-esai awal yang di publikasikan pada waktu itu mulai merefleksikan sejumlah pandangan-pandangan yang akan mengarahkan Marx sepanjang hidupnya.[3] Dengan bebas, esai-esai tersebut menyebarkan prinsip-prinsip demokrasi, humanisme, dan idealisme muda.[1]Ia menolak sifat abstrak filsafat Hegelian, impian naif komunis utopis, dan para aktivis yang menyerukan hal-hal yang dipandangnya sebagai aksi politik prematur.[1]

Ketika menolak aktivis-aktivis tersebut, Marx meletakkan landasan karyanya.[1] Marx terkenal karena analisis nya di bidang sejarah yang dikemukakannya di kalimat pembuka pada buku ‘Communist Manifesto’ (1848) :” Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas.”[1] Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada akan digantikan dengan komunisme, masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi keditaktoran proletariat(kaum paling bawah di negara Romawi).[1]

[sunting] Akhir dari Kapitalisme

Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang berasal dari kaum terpelajar dan politikus.[1] Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme.[1]

Di lain tangan, Marx menulis bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas kerja internasional.[1]Komunisme untuk kita bukanlah hubungan yang diciptakan oleh negara, tetapi merupakan cara ideal untuk keadaan negara pada saat ini[1]. Hasil dari pergerakan ini kita yang akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis.[1]Komunisme adalah pergerakan yang akan menghilangkan keadaan yang ada pada saat ini.[1]Dan hasil dari pergerakan ini menciptakan hasil dari yang lingkungan yang ada dari saat ini. – Ideologi Jerman-[1]

Hubungan antara Marx dan Marxism adalah titik kontroversi.[1]Marxism tetap berpengaruh dan kontroversial dalam bidang akademi dan politik sampai saat ini.[1] Dalam bukunya Marx, Das Kapital (2006), penulis biografi Francis Wheen mengulangi penelitian David McLellan yang menyatakan bahwa sejak Marxisme tidak berhasil di Barat, hal tersebut tidak menjadikan Marxisme sebagai ideologi formal, namun hal tersebut tidak dihalangi oleh kontrol pemerintah untuk dipelajari.[1]

Marx Menikah pada tahun 1843 dan segera terpaksa meninggalkan Jerman untuk mencari atmosfir yang lebih liberal di Paris.[2] Disana ia terus menganut gagasan Hegel dan para pendukungnya, namun ia juga mendalami dua gagasan baru –sosialisme Prancis dan ekonomi politik Inggris.[2] Inilah cara uniknya mengawinkan Hegelianisme, sosialisme, dengan ekonomi politik yang membangun orientasi intelektualitasnya.[2]

Di Perancis ia bertemu dengan Friedrich Engels sahabat sepanjang hayatnya, penopang finansialnya dan kolaboratornya[4]. Engels adalah anak seorang pemilik pabrik tekstil, dan menjadi seorang sosialis yang bersifat kritis terhadap kondisi yang dihadapi oleh para kelas pekerja.[2] Kendati Marx dan Engels memiliki kesamaan orientasi teoritis, ada banyak perbedaan diantara kedua orang ini.[2] Marx cenderung lebih teoritis, intelektual berantakan, dan sangat berorientasi pada keluarga.[2] Engels adalah pemikir praktis, seorang pengusaha yang rapi dan cermat, serta orang yang sangat tidak percaya pada institusi keluarga.[2] Banyak kesaksian Marx atas nestapa kelas pekerja berasal dari paparan Engels dan gagasan-gagasannya.[2] Pada tahun 1844 Engels dan Marx berbincang lama disalah satu kafe terkenal di Prancis dan ini mendasari pertalian seumur hidup keduanya.[2] Dalam percakapan itu Engels mengatakan, “Persetujuan penuh kita atas arena teoritis telah menjadi gamblang...dan kerja sama kita berawal dari sini”[5]. Tahun berikutnya, Engels mepublikasikan satu karya penting, The Condition of the Working Class in England.[2] Selama masa itu Marx menulis sejumlah karya rumit (banyak diantaranya tidak dipublikasikan sepanjang hayatnya), termasuk The Holy Family dan The German Ideology (keduanya ditulis bersama dengan Engels), namun ia pun menulis The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, yang memayungi perhatiannya yang semakin meningkat terhadap ranah ekonomi[6].

Di tengah-tengah perbedaan tersebut, Marx dan Engels membangun persekutuan kuat tempat mereka berkolabirasi menulis sejumlah buku dan artikel serta bekerja sama dalam organisasi radikal, dan bahkan Engels menopang Marx sepanjang hidupnya sehingga Marx menagbdikan diri untuk petualang politik dan intelektualnya[7]. Kendati mereka berasosiasi begitu kuat dengan nama Marx dan Engels, Engels menjelaskan bahwa dirinya partner junior Marx.[2]

Sebenarnya banyak orang percaya bahwa Engels sering gagal memahami karya Marx [8]. Setelah kematian Marx, Engels menjadi juru bicara terkemuka bagi teori Marxian dan dengan mendistorsi dan terlalu meyederhanakan teorinya, meskipun ia tetap setia pada perspektif politik yang telah ia bangun bersama Marx.[2] Karena beberapa tulisannya meresahkan pemerintah Prussia, Pemerintahan Prancis pada akhirnya mengusir Marx pada tahun 1945, dan ia berpindah ke Brussel.[2] Radikalismenya tumbuh, dan ia menjadi anggota aktif gerakan revolusioner internasional.[2] Ia juga bergabung dengan liga komunis dan diminta menulis satu dokumen yang memaparkan tujuan dan kepercayaannya.[2] Hasilnya adalah Communist Manifesto yang terbit pada tahun 1848, satu karya yang ditandai dengan kumandang slogan politik [9].

Pada tahun 1849 Marx pindah ke London, dan karena kegagalan revolusi politiknya pada tahun 1848, ia mulai menarik diri dari aktivitas revolusioner lalu beralih ke penelitian yang lebih serius dan terperinci tentang bekerjanya sistem kapitalis.[2] Pada tahun 1852, ia mulai studi terkenalnya tentang kondisi kerja dalam kapitalisme di British Museum.[2] Studi-studi ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku Capital, yang jilid pertamanya terbit pada tahun 1867; dua jilid lainnya terbit setelah ia meninggal.[2] Ia hidup miskin selama tahun-tahun itu, dan hampir tidak mampu bertahan hidup dengan sedikitnya pendapatan dari tulisan-tulisannya dan dari bantuan Engels [10].

Pada tahun 1864 Marx terlibat dalam aktivitas politik dengan bergabung dengan gerakan pekerja Internasional.[2] Ia segera mengemuka dalam gerakan ini dan menghabiskan selama beberapa tahun di dalamnya.[1] Namun disintegrasi yang terjadi di dalam gerakan ini pada tahun 1876, gagalnya sejumlah gerakan revolusioner, dan penyakit yang dideritanya menandai akhir karier Marx.[2] Istrinya meninggal pada tahun 1881, anak perempuannya tahun 1882, dan Marx sendiri meninggal pada tanggal 14 Maret 1883.[2]

Dalam hidupnya, Marx terkenal sebagai orang yang sukar dimengerti.[1] Ide-ide nya mulai menunjukkan pengaruh yang besar dalam perkembangan pekerja segera setelah ia meninggal.[1] Pengaruh ini berkembang karena didorong oleh kemenangan dari Marxist Bolsheviks dalam Revolusi Oktober Rusia.[1]Ide Marxian baru mulai mendunia pada abad ke-20.

ilmu kalam

Kekeliruan
Kekeliruan
Ilmu
Ilmu
Kalam
Kalam
Syamsuddin Ramadhan
Al Azhar Press
Penyejuk Jiwa
Penghapus Dahaga Pemikiran
2
Serial Bina Aqidah 6

I. Kekeliruan Ilmu Kalam II. Anonim III. Abu
Azkia.
Judul Asli:
Kekeliruan Ilmu Kalam
Penulis:
Syamsuddin Ramadhan
Penyunting:
Abu Azkia
Penata Letak:
aziz_lazmi
Desain Sampul:
gus_uwik
Cet. I, Rajab 1424 H–September 2003 M
Penerbit:
Al Azhar Press
Jl. Ciremai ujung 126 Bantarjati Kaum,
Bogor. 16153. Telp/Fax (0251) 332141.
e-mail: azhar_press@plasa.com
Kekeliruan Ilmu Kalam
3
Kekeliruan
Ilmu Kalam
Apa yang disebut dengan ilmu kalam
tidak pernah ada pada masa Nabi saw atau
pada masa sahabatnya. Ilmu ini mulai muncul
setelah berbagai kebudayaan asing
diterjemahkan ke dalam bahasa arab,
khususnya filsafat dan ilmu mantiq Yunani.
Sebagian besar kaum muslimin yang
menyibukkan diri dalam membahas ilmu
kalam tidaklah menjadi kafir akibat perbuatan
tersebut. Tujuan mereka dalam membahas
ilmu tidak lain hanya ingin menjelaskan hal-
hal yang menyangkut aqidah Islam serta
4
Serial Bina Aqidah 6
mempertemukan antara metode ilmu mantiq
dengan apa yang mereka anggap kontroversial
dari nash-nash syara’. Hanya saja mereka
tersesat dan menyibukkan pikiran mereka dan
orang lain terhadap pembahasan-pembahasan
yang akal mereka sendiri tidak sanggup
menjangkaunya. Padahal langkah yang benar
bagi mereka semestinya membatasi
pembahasan hanya pada nash-nash syara’,
yaitu berdasarkan wahyu semata.
Munculnya Ilmu Kalam
Sepanjang masa Nabi saw, kaum
muslimin hanya mempunyai satu aqidah yang
sama yaitu apa yang terdapat dalam al-Quran
dan apa yang sesuai dengan metode
Kitabullah tersebut. Mereka hidup di masa
turunnya wahyu dan mendapat kemuliaan
menjadi sahabat-sahabat rasul. Cahaya
Kekeliruan Ilmu Kalam
5
persahabatan tersebut telah menghilangkan
kegelapan, keraguan dan khayalan. Kekuatan
iman yang mereka miliki, tidak pernah
menimbulkan satu pertanyaan pun yang
mengandung unsur keraguan. Mereka tidak
berusaha mencari ilmu yang Allah sendiri
tidak mengajarkannya kepada manusia.
Merekalah yang paling baik dan tinggi
martabatnya diantara umat ini. Bahkan
Rasulullah saw sendiri pernah memberikan
kesaksian tentang kebaikan mereka ini. Karena
itulah jalan yang mereka tempuh dalam
membahas aqidah serta penyampaiannya
lebih selamat, bijaksana dan lebih mendalam
daripada metode-metode lain.
Betapa tidak !? Sebab, ini merupakan
metode Rasul yang berdasarkan metode al-
Quran dalam membahas aqidah. Dengan
metode ini orang-orang akan mendapatkan
6
Serial Bina Aqidah 6
kepuasan jiwa, petunjuk yang benar, ilmu
yang disertai keyakinan. Berkat metode
tersebut, seorang muslim akan menjadi suatu
potensi tenaga yang dasyat yang kemudian
mendorongnya untuk menyampaikan dakwah
dengan semangat. Jalan yang ditempuh dalam
hal ini adalah jalan Rasul dan para sahabatnya.
Abad pertama hijriyah telah berakhir
setelah dakwah Islam tersebar luas dan
menguasai segenap penjuru. Islam pada
waktu itu disampaikan dengan pemahaman
yang cemerlang, iman yang dalam dan
kesadaran yang hebat. Akibat dari
perkembangan dakwah Islam tersebut, Islam
berinteraksi dengan peradab an dan agama
yang dimiliki bangsa-bangsa lain yang masuk
Islam. Dikarenakan al-Quran telah
mencantumkan rincian tentang aqidah Islam
dan telah membeberkan aqidah-aqidah yang
Kekeliruan Ilmu Kalam
7
berlawanan dengannya, begitu pula bantahan-
bantahan yang melemahkan aqidah lain. Maka
sebagai akibat interaksi ini, timbullah
pergolakan pemikiran antara Islam dengan
kekufuran. Hal ini merupakan salah satu
sebab yang mendorong pemikiran kaum
muslimin membahas aqidah Islam dari
berbagai segi. Termasuk dalam menentukan
cara membela aqidah Islam di hadapan
aqidah-aqidah lainnya, terutama filsafat
Yunani yang telah dipakai orang-orang
nasrani dalam menghadapi dan menghalangi
dakwah Islam. Usaha tersebut menghasilkan
adanya aktivitas penterjemahan besar-besaran
sehingga filsafat Yunani ini beralih dan
diketahui oleh sebagian kum muslimin yang
menyibukkan diri dalam aktivitas
penerjemahan tersebut, yang kelak
menghasilkan apa yang disebut dengan ‘Ilmu
8
Serial Bina Aqidah 6
Kalam’ dan metode pembahasan ‘Ilmu
Mantiq’.
Metode Baru
Metode-metode ilmu kalam (mantiq)
yang telah dilahirkan oleh generasi yang
datang setelah sahabat (khalaf) adalah teramat
jauh berbeda dengan metode sebelumnya
yaitu metode sahabat (salaf). Karena metode
khalaf ini telah membicarakan Dzat Allah dan
berdasarkan pada metode pembahasan filosof-
filosof Yunani. Metode ini menjadikan akal
sebagai dasar pemikiran untuk membahas
segala hal tentang iman. Dalam menentukan
bukti, ia berlandaskan pada ilmu mantiq dan
telah mengambil sikap pertengkaran/
pertikaian untuk menghadapi para filosof
dalam setiap pembahasan. Mereka juga
membahas tentang apa yang tidak dapat
Kekeliruan Ilmu Kalam
9
diindera atau dijangkau tentang dzat Allah
dan sifat-sifat-Nya. Dalam hal ini, mereka
telah mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat
yang
banyak menimbulkan penakwilan, lalu
bertambahlah sikap permusuhan tersebut
sehingga pada akhirnya terjadi penyimpangan
(fitnah) terhadap aqidah yang sebenarnya.
Semua kejadian itu telah terjadi antar
sesama kaum muslimin yang ikut sibuk
membahas masalah ini. Bahkan sampai
melibatkan sebagian dari ulama fiqih yang
telah berusaha menjauhkan diri dari
pembahasan ilmu kalam,
malah
telah memberi
peringatan kepada orang-orang untuk
menjauhinya, seperti yang terjadi pada Imam
Ahmad ibn Hambal ra. Dan begitulah sikap
ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in.
mereka lebih banyak menyibukkan diri
10
Serial Bina Aqidah 6
dengan mengamalkan Kitabullah daripada
sibuk berbantah-bantahan.
Islam kemudian menyebar luas ke
pelosok dunia. Terjadilah kemudian
penaklukan-penaklukan daerah baru. Setelah
itu sebagian kaum muslimin mulai
terpengaruh dengan sebagian ide-ide filsafat
antara lain filsafat Yunani. Akibatnya mereka
terpecah menjadi banyak kelompok, firqoh
dan aliran-aliran. Sehingga mereka lebih
banyak sibuk dalam berdebat daripada
mengamalkan Kitabullah. Hati mereka
diabaikan sedangkan akal mereka diagung-
agungkan sampai begitu beraninya membahas
segala sesuatu (baik yang dapat dijangkau
ataupun yang tidak).
Mereka berpikir dan membahas Dzat
Allah dengan cara yang berlebihan begitu pula
terhadap sifat-sifat-Nya, yang mereka bahas
Kekeliruan Ilmu Kalam
11
secara mendetail berdasarkan pertimbangan
akal dan didukung dengan pendapat serta
cara pemikiran para filosof sebelumnya.
Padahal Allah SWT adalah Maha Pencipta
yang tidak dapat dijangkau manusia. Jika
manusia masih merasa dirinya lemah untuk
mengetahui secara detail tentang dirinya
sendiri dan apa yang ada dalam dirinya
sampai sekecil-kecilnya, maka bagaimana
mungkin akal manusia mampu menjangkau
Dzat Allah Yang Maha Pencipta bagi alam
semesta dan seisinya. Juga, Dia lah yang
menguasai segala urusan yang menyangkut
Dzat Allah dengan segala sifat-sifat-Nya,
padahal tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya yang dapat dijadikan sebagai
tolok ukur/pembanding!
Satu-satunya jalan yang harus
ditempuh dalam hal ini adalah dengan
12
Serial Bina Aqidah 6
menjadikan firman Allah SWT tentang dzat
dan sifat-sifat-Nya serta hadist Rasul yang
shahih dan terbukti kebenarannya, merasuk
dalam kalbu kita, lalu mengimaninya tanpa
takwil dan tanpa mempersulit pembahasan-
nya. Sebab kita tahu bahwa jika kita
menakwilkan suatu ayat/hadist maka
penakwilan itu sesuai dengan firman
Allah/sabda Rasul atau tidak. Orang yang
menakwilkan sesuatu biasanya tidak sanggup
memastikannya, benar atau salah. Yang
membentuk keyakinan adalah makna/lafazh-
lafazh
zhahir
(b erdasarkan konteks kalimat)
dari ayat/hadist, juga lafazh
hakiki
(makna
sebenarnya( bukan yang
ma jazi
(kiasan).
Metode yang Keliru
Setelah membahas dan mendalami
metode para ulama kalam dapat kita
Kekeliruan Ilmu Kalam
13
simpulkan bahwa metode mereka adalah
keliru. Metode tersebut tidak dapat
membentuk iman bagi seseorang apalagi
menguatkannya. Metode ini hanya
menghasilkan sekedar pengetahuan tertentu,
bahkan dapat dikatakan pengetahuan yang
salah dan meragukan, karena merupakan
pengetahuan tentang sesuatu yang tidak
pernah diberitahukan kepada manusia. Juga
karena panca indera kita tidak sanggup
menjangkaunya.
Kekeliruan metode tersebut dapat
dilihat dari berbagai aspek:
Pertama;
metode
ulama kalam dalam menentukan bukti
didasarkan pada ilmu mantiq, bukan kepada
penginderaan. Hal ini menjadikan seorang
muslim sangat memerlukan belajar ilmu
mantiq agar ia dapat membuktikan eksistensi
Allah. Ini berarti bagi seorang yang belum
14
Serial Bina Aqidah 6
mengetahui ilmu mantiq maka ia tidak boleh
membahas aqidah Islam. Padahal islam datang
pada masa dimana kaum muslimin belum
mengetahui ilmu mantiq. Mereka telah
mengembangkan risalah Islam dengan cara
yang terbaik serta memberikan bukti-bukti
yang meyakinkan terhadap segala hal yang
menyangkut aqidah mereka, tanpa
memerlukan pembahasan ilmu mantiq dalam
menentukan bukti apapun terhadap aqidah
Islam. Ini dari satu segi. Sedangkan dari segi
lain metode ilmu mantiq (logika) dalam
menentukan suatu bukti memungkinkan
terjadinya kekeliruan dalam menarik
kesimpulan. Hal ini disebabkan oleh premis-
premis yang salah yang tidak didasarkan atas
fakta-fakta. Berbeda halnya dengan metode
berpikir yang didasarkan atas fakta-fakta yang
nyata. Metode terakhir inilah yang telah
Kekeliruan Ilmu Kalam
15
digunakan oleh al-Quran dalam menentukan
bukti-bukti sehingga tidak memungkinkan
terjadinya suatu kekeliruan dalam berpikir.
Adapun metode yang menimbulkan
kekeliruan dalam berpikir, jelas tidak boleh
dijadikan patokan dalam menentukan bukti-
bukti.
Merujuk Kepada Akal Dalam Masalah
Ghaib
Kedua:
metode yang digunakan para
mutakallimin adalah dengan menjadikan akal
sebagai patokan dalam membahas segala hal
yang berkaitan dengan masalah iman, bahkan
sampai-sampai menjadikan akal sebagai
standar untuk memahami hal-hal yang ghaib
pula. Mereka telah menafsirkan al-Quran
berdasarkan pertimbangan akal, tanpa
menyalahi dasar-dasar lainnya, seperti;
16
Serial Bina Aqidah 6
mensucikan Allah secara mutlak, kebebasan
dalam berkehendak, keadilan Allah dan
pemilihannya yang terbaik dalam setiap
keputusan/ketentuan dan sebagainya.
Mereka telah m erujuk kepada akal
dalam menafsirkan ayat-ayat yang dari segi
lahirnya dianggap kontroversial. Akal juga
dijadikan sebagai standar pemutus terhadap
hal-hal yang
muta syabihat
. Bahkan mereka
telah menakwilkan ayat-ayat yang tidak sesuai
dengan pendapat yang mereka pilih. Sikap
penakwilan ini selalu digunakan karena
mereka bertolak dari akal, bukannya dari
wahyu (al-Quran). Mereka beranggapan
bahwa ayat-ayat al-Quran harus ditakwilkan
dan disesuaikan dengan ketentun akal.
Begitulah sikap mereka yang telah menjadikan
akal sebagai patokan untuk menafsirkan al-
Quran yang mengakibatkan terjadinya
Kekeliruan Ilmu Kalam
17
kesalahan dalam banyak pembahasan. Jika
saja mereka menjadikan al-Quran sebagai
patokan untuk setiap pembahasan adan akal
mereka didasarkan pada al-Quran, tentu tidak
akan sampai membahas apa yang sudah
mereka bahas.
Memang benar, iman terhadap al-
Quran sebagai
kalamullah
(firman Allah) harus
didasarkan kepada akal, yakni akal lah yang
telah membuktikan kemukjizatannya. Tetapi
setelah al-Quran diimani akan menjadi standar
untuk mengimani segala sesuatu yang
tercantum di dalam al-Quran, tanpa
dipertimbangankan lagi oleh akal. Oleh karena
itu jika terdapat berbagai ayat dalam al-Quran
(mengenai aqidah), maka akal tidak boleh
dijadikan tolok ukur kebenaran dan kesalahan
makna ayat-ayat tersebut. Kita wajib merujuk
hanya pada ayat-ayat al-Quran itu sendiri
18
Serial Bina Aqidah 6
tanpa ‘campur tangan’ akal. Dalam hal ini
fungsi akal hanya memahami nash-nash saja.
Sayangnya para mutakallimin tidak berbuat
demikian, melainkan menjadikan akal sebagai
tolok ukur dalam penafsiran al-Quran. Oleh
karena itu, muncullah sikap penakwilan ayat-
ayat al-Quran.
Mengikuti Pendapat Para Filosof
Ketiga:
Para mutakallimin telah
menjadikan sikap pertikaian dengan para
filosof sebagai dasar pembahasan mereka.
Misalnya, golongan mu’tazilah mengambil
pendapat dari para filosof dan membantah
mereka. Golongan ahlus sunnah dan jabariyah
membantah pendapat mu’tazilah juga dengan
mengambil pendapat para filosof dan
menentangnya. Padahal yang menjadi obyek
Kekeliruan Ilmu Kalam
19
pembahasan adalah islam, bukan sikap
pertikaian para filosof maupun lainnya.
Seharusnya mereka membahas apa
yang terdapat pada al-Quran dan Hadist, dan
berhenti disitu tanpa melampaui batas
pembahasannya, juga tanpa memperdulikan
lagi pendapat siapapun. Akan tetapi mereka
tidak melakukannya. Mereka malah
mengalihkan aktivitas tabligh Islam dan
penjelasan tentang hal-hal yang menyangkut
aqidah Islam kepada perdebatan dan
berbantah-bantahan. Mereka telah memadam-
kan kekuatan dan semangat aqidah yang
merupakan pendorong jiwa manusia,
mengaburkan makna aqidah sehingga
menjadikannya sebagai aktifitas perdebatan
belaka yang dilakukan secara terus menerus
atau sebagai keahlian tersendiri dalam ilmu
kalam.
20
Serial Bina Aqidah 6
Sikap mereka ini berlawanan dengan
metode al-Quran yang juga pernah
membantah sebagian pemikiran-pemikiran
filsafat, tetapi berdasarkan suatu metode yang
hanya berlandaskan kepada seruan yang
difokuskan kepada akal dan fitroh manusia.
Dengan demikian metode ini menjadikan
setiap orang yang mendengar seruan tersebut
mendapat kepastian dan meyakini apa yang
dibahas oleh akal terhadap hal-hal yang dapat
dijangkaunya yang menunjukkan adanya
Khaliq. Disamping ia mampu membuktikan
keesaan dan kekuasaan Allah. Hikmah/tujuan
dari ciptaan-ciptaan dan keagungan-Nya.
Bahkan, seseorang yang sampai kepadanya –
seruan al-Quran—akan merasakan bahwa ia
harus mendengar seruan itu dan
mengikutinya sampai seorang atheis pun bisa
memahami dan cenderung kepadanya.
Kekeliruan Ilmu Kalam
21
Metode al-Quran adalah sangat sesuai
untuk setiap orang, tanpa ada perbedaan
antara penguasa dan rakyat, baik intelek
maupun awam. Metode al-Quran sungguh
telah menjadikan manusia berpikir lebih serius
tentang keberadaannya di ala mini serta
kelanjutannya nanti. Contoh-contoh untuk
seruan tersebut antara lain firman Allah SWT:
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka
dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain
Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor
22
Serial Bina Aqidah 6
lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk
menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas
sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat
merebutnya kembali dari lalat itu. Amat
lemahlah yang menyembah dan amat lemah
(pulalah) yang disembah. Mereka tidak
mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat
lagi Maha Perkasa.”
(TQS. al-Hajj [22]: 73-
74)
Juga firman Allah dalam QS. ath-Thâriq [86]:
5-8, QS. adz-Dzriyat [51]: 20-21, QS. an-Nazi’ât
[79]: 27-33). Demikianlah metode al-Quran
dalam menjelaskan/menetapkan kekuasaan,
kehendak, ilmu dan keagungan Allah
berdasarkan apa yang sesuai dengan akal dan
fitrah manusia.
Metode tersebut membangkitkan
perasaan jiwa manusia sehingga terpengaruh
Kekeliruan Ilmu Kalam
23
dengan hasil keputusan akal yang telah
membuktikan serta mengakuinya sesuai
dengan hakikat fitrahnya sehingga manusia
merasa puas dan terpenuhilah keinginannya
dengan cara yang menimbulkan ketentraman
dan ketenangan jiwa.
Keluar dari Realita yang Terindera
Para mutakallimin telah keluar dari
realita bahkan melampaui batas hingga hal-hal
yang tidak dapat dijangkau oleh indera
manusia. Mereka membahas hal-hal di sebalik
alam semesta (meta fisika). Misalnya
membahas tentang Dzat Allah dan sifat-sifat-
Nya yang merupakan suatu hal yang mustahil
dapat dijangkau oleh indera manusia.
Pembahasan ini telah dikaitkan dengan
pembahasan yang berhubungan dengan
realita yang dapat diindera. Secara berlebihan,
24
Serial Bina Aqidah 6
mereka telah menganalogkan hal yang ghaib,
yaitu Allah SWT dengan alam nyata, yaitu
manusia. Bahkan mereka menetapkan sifat
‘keadilan’ Allah SWT sama dengan keadilan
menurut pandangan manusia di bumi.
Mereka lupa bahwa manusia
(makhluk) itu dapat dijangkau indera,
sedangkan Dzat Allah tidak. Dengan demikian
tidak dapat dianalogikan antara satu dengan
lainnya. Mereka juga tidak menyadari bahwa
keadilan Allah itu tidak dapat disamakan
dengan keadilan mnusia di bumi, juga tidak
boleh menundukkan Allah kepada hukum dan
peraturan alam/manusia. Karena Dia-lah yang
menciptakan alam, yang sekaligus
mengaturnya sesuai dengan hukum-hukum
yang juga Ia ciptakan.
Apabila dilihat bahwa manusia dengan
segala keterbatasannya memandang dan
Kekeliruan Ilmu Kalam
25
memahami keadilan dengan cara yang
terbatas pula, ia akan menentukan sikap
terhadap alam sekitarnya sesuai dengan
pemahamannya. Tetapi apabila pandangannya
meluas, pemahaman dan sikapnya tentang
keadilanpun berubah juga. Lalu bagaimana
mungkin manusia akan menganalogikan
Rabb, Pencipta alam semesta ini, yang ilmu-
Nya meliputi segala sesuatu, lalu mereka
memandang keadilan-Nya sesuai dengan
makna yang mereka kehendaki? Begitu pula
halnya dengan kriteria penentuan baik dan
yang terbaik bagi Allah SWT.
Ayat-Ayat Mutasyabihat
Kelima :
ayat-ayat mutasyabihat yang
bersifat global dan tidak memberikan
pemahaman yang jelas bagi pembacanya telah
turun dengan penjelasan yang umum tanpa
26
Serial Bina Aqidah 6
memberi perincian. Ayat-ayat tersebut dapat
berupa penjelasan tentang segala sesuatu
secara garis besar atau berupa ketentuan
terhadap fakta/keadaan yang kelihatannya
tidak bisa dibahas, ditelaah dan dijadikan
patokan sehingga pembacanya tidak bisa
memalingkan diri darinya. Walaupun
membahasnya, namun ia tidak dapat
mengetahui hakikat tujuan makna-maknanya
kecuali hanya sebatas apa yang tersurat dalam
lafadz-lafadznya.
Oleh karena itu, wajarlah apabila
semuanya ditentukan sikap pasrah kepada
ayat-ayat tersebut, tanpa mencari sebab-sebab
(penakwilan) atau penjelasan yang lebih
detail. Sebagai contoh dalam hal ini, bahwa di
dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang
menerangkan adanya paksaan pada
perbuatan-perbuatan manusia. Sebaliknya,
Kekeliruan Ilmu Kalam
27
banyak juga yang menunjukkan adanya
ikhtiyar (pilihan manusia sendiri).
Diantaranya firman Allah SWT: TQS. al-
Mukmin [40]: 31, juga dalam QS. al-Insân [76]:
30, QS. al-Baqarah [2]: 286, QS. al-An’âm [6]:
125. Di dalam al-Quran terdapat pula sejumlah
ayat yang menyebutkan bahwa Allah memiliki
wajah dan tangan, menjelaskan bahwa Dia ada
di langit. Diantaranya seperti firman-Nya:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah
yang di langit bahwa Dia akan menjungkir
balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan
tiba-tiba bumi itu bergoncang?”
(TQS. al-
Mulk [67]: 16)
28
Serial Bina Aqidah 6
juga dalam QS. ar-Rahman [55]: 27, QS.
al-Fajr [89]: 22, QS. al-Maidah [5]: 64.
Disamping itu terdapat ayat-ayat lain yang
menetapkan sikap pensucian terhadap Allah
SWT, yakni tidak boleh menyerupakan Allah
SWT dengan makhluk-Nya, seperti firman-
Nya: TQS. asy-Syûrâ [42]: 11, TQS. al-An’âm
[6]: 100. Demikianlah ragam ayat al-Quran
yang tersebar di pelbagai segi yang nampak
adanya pertentangan (kontroversial). Ayat-
ayat inilah yang oleh al-Quran disebut sebagai
ayat-ayat mutasyabihat.
Mengikuti Ayat-Ayat Mutasyabihat
Pada waktu ayat-ayat tersebut turun,
Rasulullah saw menyampaikannya kepada
masyarakat, para sahabat, segera saja kaum
muslimin mengimaninya. Mereka menghafal
ayat-ayat tersebut di dalam lubuk hatinya dan
Kekeliruan Ilmu Kalam
29
ayat-ayat tersebut tidak menimbulkan
pembahasan dan perdebatan apapun di
kalangan mereka. Mereka tidak melihat
adanya pertentangan apapun yang
memerlukan penjelasan yang detail. Mereka
memahami semua ayat sesuai dengan segi
yang diterangkan dan ditetapkan oleh ayat-
ayat tersebut. Ayat-ayat tersebut turun secara
berangsur-angsur sesuai dengan kenyataan
yang mereka alami. Mereka mengimani ayat-
ayat tersebut, membenarkan dan
memahaminya dengan pemahaman yang
global dan mereka merasa cukup dengan
pemahaman seperti ini. Mereka menganggap
ayat-ayat tersebut sebagai penjelas bagi
kenyataan atau sebagai penetapan bagi suatu
hakikat. Banyak dari kalangan para ulama
intelek tidak masuk pada pembahasan
perincian ayat-ayat mutasyabihat ini dan tidak
30
Serial Bina Aqidah 6
pula memperdebatkannya. Bahkan,
dipandangnya bahwa hal tersebut bukan
merupakan suatu kemaslahatan bagi Islam.
Maka pemahaman makna yang bersifat global
bagi setiap orang yang memahaminya sesuai
dengan ukuran yang dapat dipahami, tidak
perlu ia terjerumus ke dalam perincian dan
bahasan yang mengada-ada. Demikianlah
kaum muslimin menemukan metode al-
Quran, menerima ayat-ayat-Nya dan
bertindak sesuai dengan metode tersebut.
Pada waktu datang golongan
mutakallimin, mereka meletakkan pe-
mahamannya terhadap ayat-ayat mutasya-
bihat berdasarkan pada apa yang didapatkan
oleh akal mereka tentang makna ayat ‘
laisa
kamitslihi syaiun’
(tidak ada sesuatu apapun
yang menyamai-Nya). Mereka menjadikan
pemahaman ini sebagai penentu dalam
Kekeliruan Ilmu Kalam
31
memahami ayat-ayat mutasyabihat. Mereka
bangun di atas pemahaman ini dasar-dasar
(
ushuluddin
menurut mazhab mereka). Lalu
membahasnya secara terperinci berdasarkan
ushul pemahaman mereka tersebut.
Disamping itu mereka menakwilkan segala
sesuatu yang bertentangan dengan
pendapatnya. Juga, mengkafirkan semua
orang yang menyalahi pendapatnya. Banyak
dan panjangnya pembicaraan dalam masalah
ini menyebabkan timbulnya fitnah yang besar
di kalangan kaum muslimin. Andai kata
mereka mengembalikan masalah tersebut
kepada Allah dan Rasul, niscaya mereka akan
mendapatkan kebaikan yang melimpah ruah.
Firman Allah SWT mengumpamakan mereka
seperti dalam TQS. Ali Imran [3]: 7.
32
Serial Bina Aqidah 6
Perlu kita merenungkan sabda
Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh
muslim dari ‘Aisyah ra:
“Andaikata kalian melihat orang-orang yang
mengikuti apa-apa yang mutasyabihat maka
mereka itu adalah orang-orang yang disebut
Allah swt (dalam QS. Ali Imran diatas) maka
berhati-hatilah terhadap mereka.”
(HR.
Muslim)
Hambatan Bahasa
Ada yang mengatakan bahwa sebab
keterlibatan dalam ilmu kalam adalah
kelemahan yang menimpa otak kaum
muslimin dalam memahami bahasa arab. Oleh
karena itu, kata mereka, kita akan beralih dari
cara para sahabat membahas aqidah pada
cara-cara logika. Bukanlah satu kesalahan
Kekeliruan Ilmu Kalam
33
apabila kita tetap memertahankan sikap
pensucian terhadap Allah tanpa mengingkari
dan menyerupakan. Alasan mereka ini
sebenarnya merupakan hujjah yang lemah.
Sebab, gaya pembahasan yang dilakukan oleh
para ulama kalam tidak menunjukkan bahwa
bahasa merupakan salah satu hambatan dalam
pemahaman aqidah secara benar, tetapi obyek
bahasan yang ada pada merekalah yang
menjadikannya berselisih pendapat. Sebagai
contoh, apabila kita mengatakan:
‘Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.’
Makna ayat ini dapat dipahami
artinya dari segi bahasa, tanpa perlu
menggunakan cara-cara mantiq/logika. Akan
tetapi berubahnya obyek pembahasan yang
dibahas dari segi Dzat Allah itulah yang
mendorong munculnya metode tersebut.
34
Serial Bina Aqidah 6
Apabila yang mendorong meng-
gunakan cara-cara logika adalah benar bahasa
arab maka adalam hal ini cukuplah kita
menerangkan arti bahasa untuk kata-kata
yang membutuhkan penafsiran/penjelasan
dan terhadap makna-makna yang belum jelas
dalam benak kita maka kita terima secara
pasrah tanpa membahasnya atau mem-
perdebatkannya lagi.
Tetapi nampaknya bahwa arti
lughawi
(bahasa) bukan merupakan sebab penakwilan
dan pembahasan tentang Dzat Allah atau
terlibatnya akal dalam kesesatan yang sulit
baginya untuk melepaskan diri darinya
kecuali dalam keadaan kalah dan tidak
mendapatkan apa-apa. Tetapi, penyebab yang
sesungguhnya (penakwilan dan pembicaraan
mengenai dzat Allah) adalah mengikuti hawa
Kekeliruan Ilmu Kalam
35
nafsu dan tidak meneladani metode para
ulama salaf.
Metode yang Memecah Belah Persatuan
Di antara hal-hal yang perlu diingat
adalah bahwa pembahasan ulama kalam ini
telah menyebabkan munculnya banyak firqah-
firqah yang keluar dari Islam. Mereka
termasuk dalam golongan-golongan yang
disebutkan oleh rasulullah saw dalam
sabdanya:
“Kaum Yahudi telah terpecah belah menja di
tujuh puluh satu golongan, semuanya masuk
neraka. Sedangkan Kaum muslim terpecah
belah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang
semuanya juga masuk neraka kecuali satu.
Para sahabat bertanya: sia pakah dia, ya
Rasulullah? Belia u menjawab: golongan yang
36
Serial Bina Aqidah 6
mengikuti aku dan para sahabatku.”
(Sunan
Tirmidzi: 22642-2643; Sunan Abu Daud
4596-4597; Musnad Imam Ahmad no.
1024)
Rasulullah saw telah memberi petunjuk
kita agar meneladani pola hidup beliau, serta
melarang kita, umatnya menyalahi jalan
tersebut. Perhatikanlah sabda Beliau dalam
sebuah hadist shahih:
“Sesungguhnya siapa saja diantara kalian
yang hidup (sesudahku), kelak dia akan
melihat banyak perselisihan. Maka berpegang
teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah
khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk.
Lalu gigitlah (peganglah) dengan gerahammu.
Dan jahuilah perkara-perkara yang baru
(maksudnya dala m masalah ibadah).
Sesungguhnya semua perkara yang baru
Kekeliruan Ilmu Kalam
37
adalah bid’ah dn semua bid’ah
(mengakibatkan seorang masuk) dalam
neraka.”
(Sunan Abi Daud, 4607; Sunan
Tirmidzi 2678; Mus nad Imam Ahmad IV
hal. 126-127).
Demikian pula diantara hal yang perlu
dipegang teguh bahwa pembahasan-
pembahasan ini dan yang serupa dengannya
akan menyebabkan berhadapannya seorang
muslim melawan saudaranya yang muslim,
bahkan akan mengalihkan perhatiannya hanya
untuk menghadapi ‘urusan dalam’ kaum
muslimin. Sehingga orang-orang kafir dapat
mengambil kesempatan untuk melontarkan
banyak perkara-perkara syubhat yang
menyibukkan kaum muslimin dalam
menyelesaikannya, bahkan dapat menyebab-
kan terhentinya kegiatan dakwah dan jihad fi
38
Serial Bina Aqidah 6
sabilillah. Oleh karena itu kita lihat ketika
ilmu-ilmu logika mulai berkurang, bahkan
lenyap dari masyarakat sangat diperhatikan
dan menjadi pembahasan serius kaum
orientalis. Begitu juga para teolog nasrani
banyak mengarang buku-buku di bidang ini.
Pembahasan ilmu kalam masih
mempengaruhi sekelompok kecil umat, yang
alangkah baiknya mereka tinggalkan hanya
karena Allah semata, yang mereka cintai. Jika
tidak, maka mereka –baik sengaja ataupun
tidak—berarti telah mengikuti orang yang
tidak mengharapkan kebaikan bagi agama
Islam ini.
Dalam kenyataannya, permasalahan
ilmu kalam telah dimunculkan oleh beberapa
orang nasrani yang kemudian memeluk Islam
tetapi tidak ikhlas pada-Nya. Diantara hal
yang menunjukkan hal ini adalah bahwa
Kekeliruan Ilmu Kalam
39
Ghailan ad-Damasyqi pada mulanya sebelum
menganut Islam adalah orang Qibti (Nasrani
dari Mesir). Dan dialah orang yang paling
gencar menyerukan masalah qodar. Misalnya
apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Qutaibah
di dalam kitabnya Kitabu al-Ma’arif, hal 166:
“Ghailan ad-Damasyqi adalah orang Qibti yang
tidak ada searang pun sebelumnya
membicarakannya dan menyeru kepada masalah
qodar kecuali Ma’bad al-Jahni. Dan Ghailan
memiliki julukan Abu Marwan. Lalu ditangkap
oleh Hisyam ibnu Malik (wa fat pada tahun 125 H),
kemudian disalib di pintu gerbang kota
Damaskus.”
Sebagaimana halnya dahulu,
sekelompok nasrani yang masuk Islam telah
membahas tentang berbagai syubhat yang
mengangkut aqidah, khususnya masalah
taqdir, kita akan menemukan pula bahwa
sekelompok Yahudi yang masuk Islam telah
40
Serial Bina Aqidah 6
menimbulkan berbagai syubhat; tentang
penyerupaan dan penitisan/penjelmaan Allah
swt. Untuk itu dibuatlah cerita-cerita dan
riwayat palsu. Asy-Syahru Satani berkata:
“Kebanyakan berita-berita/cerita yang dibuat
berkenaan dengan masalah penyerupaan Dzat
Allah berasal dari Yahudi. Dan sesungguhnya
sikap demikian sudah merupakan tabi’at mereka.
Barangkali, Abdullah ibnu Saba’ yang dahulu
seorang Yahudi kemudia n masuk Islam merupakan
orang yang pertama kali memunculk an perkara-
perkara syubhat; tenta ng penyerupaan Allah –
disamping sikap ekstrim dan dan berlebih-lebihan
terhadap Imam Ali bin Abi Muthalib—
sebagaima na yang disebutkan oleh Imam Abdul
Qadir al-Baghdady di dalam kitabnya al-Farqu
Bainal Firoq, hal 214.”
Kekeliruan Ilmu Kalam
41

FILSAFAT ILMU

Bab I
FILSAFAT ILMU
1.1. Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu
philosophy
, adapun istilah
filsafat berasal dari bahasa Yunani,
philosophia
, yang terdiri atas dua
kata:
philos
(cinta) atau
philia
(persahabatan, tertarik kepada) dan
shopia
(hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis,
inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau
kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai
philosophos
(filosof) dalam
pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan arabisasi
yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang
dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia
filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia
juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.
Sebelum Socrates ada satu kelompok yang menyebut diri mereka
sophist
(kaum sofis) yang berarti cendekiawan. Mereka menjadikan
persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan hujah-hujah
yang keliru dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata sofis mengalami
1

reduksi makna yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena
kerendahan hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan
kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan seorang sofis
(cendekiawan). Oleh karena itu istilah filosof tidak pakai orang sebelum
Socrates (Muthahhari, 2002).
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang
dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni,
filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu
pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan
astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan
dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2)
urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik.
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami
segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat
merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang
dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan
mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu
informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau
ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik
tertentu (Takwin, 2001).
Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah
falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan
pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya
tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa
“falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan
melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi
dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini,
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan
akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah
dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah
bentuk daripada dialog.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut
kalangan filosof adalah:
2

1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik
serta lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara
nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan
sumber daya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan
pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang
pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa
yang Anda katakan dan untuk menyatakan apa yang Anda lihat.
Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang
bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles
(382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof
lainnya Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua
ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan
keinginan untuk mendapatkannya.
Menurut Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan segala
pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok
penyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat
filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala
pengetahuan yang tercakup di dalamnya 4 persoalan:
a. Apakah yang dapat kita ketahui?
Jawabannya termasuk dalam bidang metafisika.
b. Apakah yang seharusnya kita kerjakan?
Jawabannya termasuk dalam bidang etika.
c. Sampai di manakah harapan kita?
Jawabannya termasuk pada bidang agama.
d. Apakah yang dinamakan manusia itu?
Jawabannya termasuk pada bidang antropologi.
3

Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:
1. Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika
hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri.
Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya
dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan
membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan
tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada
langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
2. Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa
ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses
penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah
kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti
sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan
menentukan titik yang benar.
3. Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan
titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya
dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis
maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang
logis atau tidak.
Sir Isacc Newton, seorang ilmuwan yang sangat terkenal,
President of the Royal Society memiliki ketiga karakteristik ini. Ada
banyak penyempurnaan penemuan-penemuan ilmuwan sebelumnya yang
dilakukannya. Dalam pencariannya akan ilmu, Newton tidak hanya
percaya pada kebenaran yang sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia
menggugat (meneliti ulang) hasil penelitian terdahulu seperti logika
aristotelian tentang gerak dan kosmologi, atau logika cartesian tentang
materi gerak, cahaya, dan struktur kosmos. “Saya tidak mendefenisikan
ruang, tempat, waktu dan gerak sebagaimana yang diketahui banyak
orang” ujar Newton. Bagi Newton tak ada keparipurnaan, yang ada hanya
pencarian yang dinamis, selalu mungkin berubah dan tak pernah selesai.
“ku tekuni sebuah subjek secara terus menerus dan ku tunggu sampai
cahaya fajar pertama datang perlahan, sedikit demi sedikit sampai betul-
betul terang”.
4

1.2. Munculnya Filsafat
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-
kira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-
pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar
mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya
mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain
kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya
sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta
pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales
dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani
yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates
adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada
yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-
komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang
sangat besar pada sejarah filsafat.
1.3. Klasifikasi Filsafat
Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan
yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan
banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa
diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini
filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan
“Filsafat Islam”.
Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis
di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka.
Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional
pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk
5

pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya
aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan kriteria
bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran
korespondensi dan koherensi.
Korespondensi
yakni sebuah pengetahuan
dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh
jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra kita
menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya
dianggap salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan
itu mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat).
Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian
besar yakni: (a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (
being
), (b)
bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas),
(c) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang
seharusnya dilakukan manusia (aksiologi).
Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:
1.
Wittgenstein
mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang
dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris, tetapi
juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap
bentuk filsafat yang berbau
metafisik”. Filsafat analitik menyerupai
ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku
dalam ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat.
Yang menjadi obyek penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan
barang-barang, peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan,
aksioma, prinsip. Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu
yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang menjadi pokok
perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa sehari-hari,
maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan.
2.
Imanuel Kant
mempunyai aliran atau filsafat
kritik” yang tidak
mau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi.
Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia
membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi.
Pengetahuan merupakan hasil kerja s ama antara pengalaman
indrawi yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori.
Strukt ur pengetahuan harus kita teliti. Kant terkenal karena tiga
6

tulisan: (1) Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat ketahui.
Ding an sich
, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia
hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal
terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu.
Kemudian diperinci lagi misalnya menurut kategori sebab dan
akibat dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa,
dan dunia. (2) Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya buat.
Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan
mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga
postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan. (3)
Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan
peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan
yang khusus.
3.
Rene Descartes.
Berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri
subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan
pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk
memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya
satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku
ada. Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita
pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia
dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai
adanya Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang
alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya
menjadi dua yaitu: “
res extensa
dan
res copgitans
”.
Filsafat Timur
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di
Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang pernah
dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya
hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa
dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di
Dunia Barat filsafat ’
an sich
’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-
nama beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain.
7

Pemikiran filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran yang
tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Hal ini disebabkan
pemikiran timur lebih dianggap agama dibanding filsafat. Pemikiran
timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat.
Misalnya dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada
konstrusksi kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya
manusia dijalin secara runut (Takwin, 2001).
Belakangan ini, beberapa intelektual barat telah beralih ke filsafat
timur, misalnya Fritjop Capra, seorang ahli fisika yang mendalami
taoisme, untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang
sudah terlanjur dirongrong oleh relativisme dan skeptisisme (Bagir,
2005). Skeptisisme terhadap metafisika dan filsafat dipelopori oleh Rene
Descartes dan William Ockham.
Filsafat Islam
Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa.
Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa
dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat (Yunani).
Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam
terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga
saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar
filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang
disalin oleh St. Agustine (354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh
Anicius Manlius Boethius (480–524 M) dan John Scotus. Pendapat
kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat orang-orang
Yunani dari buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi.
Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya,
karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti
Isagoge
,
Categories,
dan
Porphyry
telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi
bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah
menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan
bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John
8

Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan
menyalin kembali buku
Organon
karangan Aristoteles dari terjemahan-
terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh
filosof
Islam
(Haerudin, 2003).
Majid Fakhri cenderung mengangap filsafat Islam sebagai mata
rantai yang menghubungkan Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini
disebut europosentris yang berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak
kematian Ibn Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis
Massignon yang menilai adanya eksistensi filsafat Islam. Menurut
Kartanegara (2006) dalam filsafat Islam ada empat aliran yakni:
1.
Peripatetik
(memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan
Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya
ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau
epistimologis adalah menggunakan logika formal yang
berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang
kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni:
Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn
Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274).
2.
Aliran Iluminasionis (Israqi).
Didirikan oleh pemikir Iran,
Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat
yang penting bagi metode intuitif (
irfani
). Menurutnya dunia ini
terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya
sebagai satu-satunya realitas sejati (
nur al anwar
), cahaya di atas
cahaya.
3.
Aliran Irfani (Tasawuf).
Tasawuf bertumpu pada pengalaman
mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional
bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada
hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
4.
Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden).
Diwakili
oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya
Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau
yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang
berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas.
9

Dalam Islam ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan. Dalam
Al Quran kata
al-ilm
dan kata-kata jadiannya digunakan lebih 780 kali.
Hadis juga menyatakan mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya
Al Wafi
: ilmu
yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat
posisi manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan
tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam,
sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada
Allah.
Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah
berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa ilahi. Mempelajari
alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan.
Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan
mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan
terhadapnya. Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen
melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat
yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat
qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi
yang mulia sebagai obyek ilmu.
1.4. Filsafat Ilmu
Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bisa
menjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas,
mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta
gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
intelektual (Bagir, 2005).
Menurut kamus
Webster New World Dictionary
, kata
science
berasal dari kata latin,
scire
yang artinya mengetahui. Secara bahasa
science
berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam
arti pengetahuan (
knowledge
) yang dikontraskan melalui intuisi atau
kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan
makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari
10

observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk
menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam
bahasa Arab, ilmu (
ilm
) berasal dari kata
alima
yang artinya mengetahui.
Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan
science
yang berasal
dari kata
scire
. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan
science
(sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme–
positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti
matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003).
Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari
filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana
“pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Will Duran dalam
bukunya
The story of Philosophy
mengibaratkan bahwa filsafat seperti
pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri.
Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu.
Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan.
Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari
pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam
(
natural philosophy
) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (
moral
philosophy
). Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika
sebagai
Philosophiae Naturalis Principia Mathematica
(1686) dan Adam
Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi menulis buku
The Wealth Of
Nation
(1776) dalam fungsinya sebagai
Professor of Moral Philosophy
di
Universitas Glasgow.
Agus Comte dalam
Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion
and Science,
1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan
yaitu:
religius
,
metafisic
dan
positif
. Dalam tahap awal asas religilah yang
dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran
religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika dan
keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari
dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar
postulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu)
di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam proses
11

verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang
paling mendasar selain matematika.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering
juga disebut epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni
episcmc
yang berarti
knowledge
, pengetahuan dan
logos
yang berarti
teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854
yang membuat dua cabang filsafat yakni
epistemology
dan
ontology
(
on
=
being
, wujud, apa +
logos
= teori ),
ontology
( teori tentang apa).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah
dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan
secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan
tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu
pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan
yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga
memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan
normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya
sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah
dapat dipertanggungjawabkan.
Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong pra-
ilmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang
secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di
samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran
seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Pengetahuan Manusia
Pengetahuan Obyek Paradigma Metode Kriteria
Sains Empiris Sains Metode
Rasional empiris
Ilmiah
Filsafat Abstrak
Rasional Metode
Rasional
rasional
rasional
Mistis Abstark
Mistis Latihan
Rasa, iman, logis,
suprarasional
percaya
kadang empiris
Sumber: Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu
12

Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara
sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan
teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji
kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang pra-
ilmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun
bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga
tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah
karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung
menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.
Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim
disebut tahap-mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuan-
pengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik
ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di
sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam
artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya.
Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai
implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan
dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui
segala-galanya. Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan
primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan,
sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang
pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain
sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat
pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu
menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional
yang dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia
telah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu
mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya.
Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek
metafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu
tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak
ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek
dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata
mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu
13

ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut
menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara
analisis dan sintesis. Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir
secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal
ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat
pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji
kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis
mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan
tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang
bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian
kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat
rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara
induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara
hasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian,
dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus. Sesudah melalui
tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional.
Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari
kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki
pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu.
Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan
kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap
fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi
filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme
terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan
pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang
menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi
ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai
ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial.
Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi
ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan
demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur,
sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik
kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib
seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
14

Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi
aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah,
di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data
empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah-
langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang
berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya.
Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah
disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan
ilmu yang diperoleh.
Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi
Tahapan
Ontologi
Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?
(Hakikat
Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Ilmu)
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya
tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera)
yang membuahkan pengetahuan?
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan
yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya?
Epistimologi
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya
(Cara
pengetahuan yang berupa ilmu?
Mendapatkan
Bagaimana prosedurnya?
Pengetahuan)
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan dengan benar?
Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
Apa kriterianya?
Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Aksiologi
Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
(Guna
Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
Pengetahuan)
kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/profesional?
Sumber: Suriasumantri, 1993
15

Teori pengetahuan yang bersifat subjektif akan memberikan
jawaban ”TIDAK”, kita tidak akan mungkin mengetahui, menemukan
hal-hal yang ada di balik pengaman dan ide kita. Sedangkan teori
pengetahuan yang bersifat obyektif akan memberikan jawaban ”YA”.
1.5. Sumber-Sumber Pengetahuan
Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar:
pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan
pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman
mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode
deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide
yang diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan
ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia
memikirkannya (idelisme).
Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain
yakni intuisi atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan
tanpa melalui proses penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan.
Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan
kepada manusia.
Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah dikotomi
atau
gap
antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam
sumber ilmu yang paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu
umum (imuwan sekuler) satunya-satunya yang valid adalah pengalaman
empiris yang didukung oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan
metode deduksi yang ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai secara
apriopri
(yakni tidak melalui pengalaman). Menurut mereka, setinggi-
tingginya pencapaian akal adalah filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu
spekulatif untuk bisa mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang
diminta kaum positivis. Adapun pengalaman intuitif sering dianggap hanya
sebuah halusinasi atau ilusi belaka. Sedangkan menurut agamawan pengalaman
intuitif dianggap sebagai sumber ilmu, seperti para nabi memperoleh
wahyu ilahi atau mistikus memperoleh limpahan cahaya Ilahi.
16

Masalah berikutnya adalah pengamatan. Sains modern menentukan
obyek ilmu yang sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi
(
the observables
) atau diamati oleh indra. Akibatnya muncul penolakan
dari filosof logika positivisme yang menganggap segala pernyataan yang
tidak ada hubungan obyek empirisnya sebagai nonsens. Perbedaan ini
melahirkan metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap
science
).
Masalah lainnya adalah munculnya disintegrasi pada tatanan
klasifikasi ilmu. Penekanan sains modern pada obyek empiris (ilmu-ilmu
fisika) membuat cabang ilmu nonfisik bergeser secara signifikan ke
pinggiran. Akibatnya timbul pandangan negatif bahwa bidang kajian
agama hanya menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan Freud
yang menyatakan agama dan terutama pendukungnya yang fanatik
bertanggung jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena melarang
anak didik untuk bertanya secara kritis.
Masalah lainnya yang muncul adalah menyangkut metodologi
ilmiah. Sains pada dasarnya hanya mengenal metode observasi atau
eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan metode lainnya seperti
metode intuitif. Masalah terakhir adalah sulitnya mengintegrasikan
ilmu dan agama terutama indra, intektual dan intuisi sebagai
pengalaman
legitimate
dan riil dari manusia.
1.6. Sejarah Perkembangan Ilmu
A. Zaman Yunani
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting
dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi
perubahan pola pikir mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat
mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti
gempa bumi dan pelangi). Gempa bumi tidak dianggap fenomena
alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan
kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam
tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas
alam yang terjadi secara kausalitas.
17

Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam
adalah Thales (624-546 SM) mempertanyakan “Apa sebenarnya asal
usul alam semesta ini?” Ia mengatakan asal alam adalah air karena
air unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah
menjadi benda gas, seperti uap dan benda dapat, seperti es, dan bumi
ini juga berada di atas air.
Sedangkan Heraklitos mempunyai kesimpulan bahwa yang
mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan
aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi
dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan di sisi
lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam
alam ini, sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu
sendiri.
Pythagoras (580-500 SM) berpendapat bahwa bilangan
adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur
bilangan merupakan juga unsur yang terdapat dalam segala sesuatu.
Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak
terbatas. Menurut Abu Al Hasan Al Amiri, seorang filosof muslim
Phitagoras belajar geometri dan matematika dari orang-orang mesir
(Rowston, dalam Kartanegara, 2003).
Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang
memuaskan, sehingga timbullah kaum “
sofis
”. Kaum
sofis
ini
memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa ini memulai
kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah
ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411
SM). Ia menyatakan bahwa “manusia” adalah ukuran kebenaran.
Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran
kaum
sofis
karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan
sekaligus merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru.
Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum
sofis
.
Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung kepada
manusia.
18

Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat
Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah
perpaduan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang
sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid
Socrates. Menurutnya, kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat
bahkan sudah ada di alam idea.
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles
(384-322 SM). Ia murid Plato, berhasil menemukan pemecahan persoalan-
persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika,
matematika, fisika, dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada
analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya
silogisme
terdiri
dari tiga premis:
- Semua manusia akan mati (
premis mayor
).
- Socrates seorang manusia (
premis minor
).
- Socrates akan mati (
konklusi
).
Aristoteles dianggap bapak ilmu karena dia mampu meletakkan
dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
B. Zaman Islam
Islam tidak hanya mendukung adanya kebebasan intelektual,
tetapi juga membuktikan kecintaan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan dan
sikap hormat mereka kepada ilmuwan, tanpa memandang agama mereka.
Periode antara 750 M dan 1100 M adalah abad masa keemasan dunia
Islam. Plato dan Aristoteles telah memberikan pengaruh yang besar pada
mazhab-mazhab Islam, khususnya mazhab Peripatetik.
Al Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan
cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan
Aristoteles seperti
Categories, Hermeneutics, First,
dan
Second Analysis
telah diterjemahkan Al Farabi ke dalam bahasa Arab. Al Farabi telah
membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun
induktif. Di samping itu beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama
ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan
19

sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al Farabi
diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar Guru Pertama diberikan kepada
Aristoteles.
Kontribusi lain dari Al Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah
usahanya mengklasifikasi ilmu pengetahuan. Al Farabi telah memberikan
defenisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada
zamannya. Al Farabi mengklasifikasi ilmu ke dalam tujuh cabang yaitu:
logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik, dan ilmu fiqih
(hukum).
Ilmu percakapan dibagi lagi ke dalam tujuh bagian yaitu: bahasa,
gramatika, sintaksis, syair, menulis, dan membaca. Bahasa dalam ilmu
percakapan dibagi dalam: ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan
yang benar, aturan membaca dengan benar, dan aturan mengenai syair
yang baik. Ilmu logika dibagi dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori
dan diakhiri dengan syair (puisi). Matematika dibagi dalam tujuh bagian.
Metafisika dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai
pengetahuan tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu.
Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika
dan politika. Perkataan
politieia
yang berasal dari bahasa Yunani
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi
madani,
yang berarti sipil
dan berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota. Kata ini
kemudian sangat populer digunakan untuk menyepadankan istilah
masyarakat sipil menjadi masyarakat madani. Ilmu agama dibagi dalam
ilmu fiqih dan imu ketuhanan/kalam (teologi).
Buku Al Farabi mengenai pembagian ilmu ini telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin untuk konsumsi bangsa Eropa dengan judul
De
Divisione Philosophae
. Karya lainnya yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin berjudul
De Scientiis
atau
De Ortu Scientearum
. Buku ini
mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik, dan geologi. Al
Farabi (w.950) terkenal dengan doktrin
wahda al wujud
membagi
hierarki wujud yaitu (1) dipuncak hierarki wujud adalah Tuhan yang
merupakan sebab bagi keberadaan yang lain, (2) para malaikat di
bawahnya yang merupakan sebab bagi keberadaan yang lain, (3) benda-
20

benda langit (angkasa), (4) benda-benda bumi. Al Farabi memiliki sikap
yang jelas karena ia percaya pada kesatuan filsafat dan bahwa tokoh-
tokoh filsafat harus bersepakat di antara mereka sepanjang yang menjadi
tujuan mereka adalah kebenaran.
Filosof lain yang terkenal adalah Ibnu Sina dikenal di Barat dengan
sebutan
Avicienna
. Selain sebagai seorang filosof, ia dikenal sebagai
seorang dokter dan penyair. Ilmu pengetahuan yang ditulisnya banyak
ditulis dalam bentuk syair. Bukunya yang termasyhur
Canon
, telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo. Buku ini
kemudian menjadi buku teks (
text book
) dalam ilmu kedokteran yang
diajarkan pada beberapa perguruan tinggi di Eropa, seperti Universitas
Louvain dan Montpelier. Dalam kitab
Canon
, Ibnu Sina telah menekankan
betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk menentukan khasiat
suatu obat. Ibnu Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat
sangat tergantung pada ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian.
Pemberian obat hendaknya disesuaikan dengan kekuatan penyakit.
Kitab lainnya berjudul
Al Shifa
diterjemahkan oleh Ibnu Daud (di
Barat dikenal dengan nama Avendauth Ben Daud) di Toledo. Oleh
karena
Al Shifa
sangat tebal, maka bagian yang diterjemahkan oleh Ibnu
Daud terbatas pada pendahuluan ilmu logika, fisika, dan
De Anima
. Ibnu
Sina membagi filsafat atas bagian yang bersifat teoretis dan bagian yang
bersifat praktis. Bagian yang bersifat teoretis meliputi: matematika,
fisika, dan metafisika, sedang bagian yang bersifat praktis meliputi:
politik dan etika.
Ibnu Sina, mengatakan alam pada dasarnya adalah potensi
(
mumkin al wujud
) dan tidak mungkin bisa mengadakan dirinya sendiri
tanpa adanya Tuhan. Ibnu Sina mengelompokkan ilmu dalam tiga macam
yakni (1) obyek-obyek yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi
dan gerak (metafisik), (2) obyek-obyek yang senantiasa berkaitan dengan
materi dan gerak (fisika), (3) obyek-obyek yang pada dirinya immateriel
tetapi kadang melakukan kontak dengan materi dan gerak (matematika).
Ibn Khaldun dalam kitabnya
Al Muqaddimah
membagi
metafisika dalam lima bagian. Bagian pertama berbicara tentang hakikat
21

wujud (ontologi). Dari sini muncul dua aliran besar yakni
eksistensialis
(tokoh yang terkemuka adalah Ibnu Sina dan Mhulla Shadra) dan
esensialis
(tokoh yang terkemuka adalah Syaikh Al Israq, Suhrawardi).
Berikutnya Ibn Khaldun membagi ilmu matematika ke dalam empat
subdivisi yakni (1) geometri; trigonometrik dan kerucut,
surveying
tanah,
dan optik. Sarjana muslim terutama Ibn Haitsam telah banyak
mempengaruhi sarjana barat termasuk Roger Bacon, Vitello dan Kepler
(2)Aritmetika; seni berhitung/hisab, aljabar, aritmatika bisnis dan
faraid
(hukum waris), (3) musik, (4) astronomi.
Dalam bidang ilmu mineral, dikenal karya Al Biruni yang
berjudul
Al Jawahir
(batu-batu permata), selain itu pada abad ke-11 Al
Biruni dikenal sebagai
The master of observation
di bidang geologi dan
geografi karena Al Biruni berusaha mengukur keliling bumi melalui
metode eksperimen dengan menggabungkan metode observasi dan teori
trigonometri. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa keliling bumi
adalah 24.778,5 mil dengan diameter 7.878 mil. Tentu saja ini merupakan
penemuan luar biasa untuk masa itu, dengan ukuran modern saja yaitu
24.585 mil (selisih ± 139 mil) dengan diameter 7.902 mil.
Dalam bidang ilmu farmakologi dan medis dikenal karya Ibnu
Sina yakni
Al Qanun fi al Thibb
dan
Al Hawi
oleh Abu Bakr Al Razi,
bidang nutrisi dikenal karya Ibn Bathar yakni
Al Jami Li Mufradat Al
Adawiyyah wa Al Aghdziyah
, di bidang zoologi dikenal karya Al Jahizh
yang berjudul
Al Hayawan
dan
Hayat Al Hayawan
oleh Al Damiri. Di
Andalusia terkenal seorang ahli bedah muslim, Ibn Zahrawi yang telah
mencitakan ratusan alat bedah yang sudah sangat maju untuk ukuran
zamannya.
Filosof lainnya adalah Al Kindi, yang dianggap sebagai filosof
Arab pertama yang mempelajari filsafat. Ibnu Al Nadhim mendudukkan
Al Kindi sebagai salah satu orang termasyhur dalam filsafat alam
(
natural philosophy
). Buku-buku Al-Kindi membahas mengenai berbagai
cabang ilmu pengetahuan seperti geometri, aritmatika, astronomi, musik,
logika dan filsafat. Ibnu Abi Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai
penerjemah terbaik kitab-kitab ilmu kedokteran dari bahasa Yunani ke
22

dalam bahasa Arab. Di samping sebagai penerjemah, Al Kindi menulis
juga berbagai makalah. Ibnu Al Nadhim memperkirakan ada 200 judul
makalah yang ditulis Al Kindi dan sebagian di antaranya tidak dapat
dijumpai lagi, karena raib entah kemana. Nama Al Kindi sangat masyhur
di Eropa pada abad pertengahan. Bukunya yang telah disalin ke dalam
bahasa Latin di Eropa berjudul
De Aspectibus
berisi uraian tentang
geometri dan ilmu optik, mengacu pada pendapat Euclides, Heron, dan
Ptolemeus. Salah satu orang yang sangat kagum pada berbagai tulisannya
adalag filosof kenamaan Roger Bacon.
Filosof lainnya adalah Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di
Cordova, Spanyol, meskipun seorang dokter dan telah mengarang buku
ilmu kedokteran berjudul
Colliget
, yang dianggap setara dengan kitab
Canon
karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Ibnu Rushd telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles,
yaitu: komentar besar, komentar menengah, dan komentar kecil. Ketiga
komentar tersebut dapat dijumpai dalam tiga bahasa: Arab, Latin, dan Yahudi.
Dalam komentar besar, Ibnu Rushd menuliskan setiap kata dalam
Stagirite
karya Aristoteles dengan bahasa Arab dan memberikan komentar pada
bagian akhir. Dalam komentar menengah ia masih menyebut-nyebut
Aritoteles sebagai
Magister Digit
, sedang pada komentar kecil filsafat
yang diulas murni pandangan Ibnu Rushd.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat
merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan
yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka-
pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang
memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis.
Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan
pula oleh Al Kindi dalam bukunya
Falsafah El Ula
(
First Philosophy
).
Al Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan
kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis
dan kurang bernilai (Haeruddin, 2003).
23

C. Kemajuan Ilmu Zaman Renaisans dan Modern
Pada zaman modern paham-paham yang muncul dalam garis
besarnya adalah rasionalisme, idealisme, dan empirisme. Paham
rasionalisme mengajarkan bahwa akal itulah alat terpenting dalam
memperoleh dan menguji pengetahuan. Paham idealisme mengajarkan
bahwa hakikat fisik adalah jiwa,
spirit
. Ide ini merupakan ide Plato yang
memberikan jalan untuk mempelajari paham idealisme zaman modern.
Paham empirisme dinyatakan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita
selain didahului oleh pengalaman.
Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan
dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman
yang menyaksikan dilancarkannya tantangan gerakan reformasi terhadap
keesaan dan supremasi Gereja Katolik Roma, bersamaan dengan
berkembangnya Humanisme. Zaman ini juga merupakan penyempurnaan
kesenian, keahlian, dan ilmu yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa,
Leonardo da Vinci. Penemuan percetakan (kira-kira 1440 M) dan ditemukannya
benua baru (1492 M) oleh Columbus memberikan dorongan lebih keras
untuk meraih kemajuan ilmu. Kelahiran kembali sastra di Inggris,
Perancis dan Spanyol diwakili Shakespeare, Spencer, Rabelais, dan
Ronsard. Pada masa itu, seni musik juga mengalami perkembangan.
Adanya penemuan para ahli perbintangan seperti Copernicus dan Galileo
menjadi dasar bagi munculnya astronomi modern yang merupakan titik
balik dalam pemikiran ilmu dan filsafat.
Bacon adalah pemikir yang seolah-olah meloncat keluar dari
zamannya dengan melihat perintis filsafat ilmu. Ungkapan Bacon yang
terkenal adalah
Knowledge is Power
(Pengetahuan adalah kekuasaan).
Ada tiga contoh yang dapat membuktikan pernyataan ini, yaitu:
mesin
menghasilkan kemenangan dan perang modern,
kompas
memungkinkan
manusia mengarungi lautan,
percetakan
yang mempercepat penyebaran
ilmu.
Lahirnya Teori Gravitasi, perhitungan Calculus dan Optika
merupakan karya besar Newton. Teori Gravitasi Newton dimulai ketika
muncul persangkaan penyebab planet tidak mengikuti pergerakan lintas
24

lurus, apakah matahari yang menarik bumi atau antara bumi dan matahari
ada gaya saling tarik menarik.
Teori Gravitasi memberikan keterangan, mengapa planet tidak
bergerak lurus, sekalipun kelihatannya tidak ada pengaruh yang memaksa
planet harus mengikuti lintasan elips. Sebenarnya, pengaruhnya ada,
tetapi tidak dapat dilihat dengan mata dan pengaruh itu adalah Gravitasi,
yaitu kekuatan yang selalu akan timbul jika ada dua benda yang saling
berdekatan.
Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan ilmu
seperti taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika. Di abad ke-9 lahir
semisal farmakologi, geofisika, geormopologi, palaentologi, arkeologi,
dan sosiologi. Abad ke-20 mengenal ilmu teori informasi, logika
matematika, mekanika kwantum, fisika nuklir, kimia nuklir, radiobiologi,
oceanografi, antropologi budaya, psikologi, dan sebagainya.
D. China, India, dan Jepang
Peradaban India yang pada awal telah mencapai teknologi tingkat
tinggi. Kontak Eropa dengan peradaban India sebagian besar melalui
sumber berbahasa Arab. Jelas terlihat matematika India dengan sistem
bilangan dan perhitungannya yang telah mempengaruhi aljabar Arab dan
melengkapi angka utama Arab. Tetapi ciri khasnya adalah pemikiran
dengan kesadaran yang tinggi.
Peradaban Cina, hingga zaman renaisans peradaban Cina jauh
lebih maju dibanding Barat. Menurut Francis Bacon, Tranformasi masyarakat
Eropa banyak berasal dari Cina seperti kompas magnetik, bubuk mesiu,
dan mesin cetak. Namun Eropa tidak pernah menyadari hutang budinya
kepada Cina. Kegagalan Cina dalam membuat perkembangan ilmu dan
teknologi adalah filsafat yang ada lebih berlaku praktis ketimbang
prinsip-prinsip abstrak, filsafat yang ada didasarkan analogi-analogi
harmonis dan organis serta pedagang sebagai kelas yang tidak dapat
dipercaya, sehingga ciri renaisans yang terjadi di Eropa tidak terjadi di
Cina.
25

Peradaban Jepang selama beberapa abad terimbas dari kultur
Cina. Pada awal abad ke-17 memutuskan untuk menutup pintu dari
pengaruh-pengaruh yang dianggap membahayakan. Awal abad ke-19
memutuskan berasimilasi ke bangsa luar dan melaksanakan dengan
sungguh. Saat ini satu sisi Jepang hidup dengan teknologi yang tinggi
akan tetapi tetap mengikuti tradisi sosial yang kuno seperti bangsa Cina.
1.7. Ilmu dan Moralitas
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah
moral. Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar
mengelilingi matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564-
1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya yang
akhirnya harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2
abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa.
Moral
reasioning
adalah proses dengan mana tingkah laku
manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi
standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk
mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya.
Menurut Kohlberg (Valazquez, 1998) menyatakan perkembangan
moral individu ada 3 tahap yaitu:
1.
Level Preconvenstional
. Level ini berkembang pada masa kanak-
kanak.
a.
Punishment
and
obidience orientation
: alasan seseorang patuh
adalah untuk menghindari hukuman.
b.
Instrument and relativity orientation
; perilaku atau tindakan
benar karena memperoleh imbalan atau pujian.
2.
Level Conventional
: Individu termotivasi untuk berperilaku sesuai
dengan norma-norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu
kelompok tersebut.
a.
Interpersonal concordance orientation
: orang bertingkah laku
baik untuk memenuhi harapan dari kelompoknya yang menjadi
26

loyalitas, kepercayaan dan perhatiannya seperti keluarga dan
teman.
b.
Law and order orientation
: benar atau salah ditentukan loyalitas
seseorang pada lingkungan yang lebih luas seperti kelompok
masyarakat atau negara.
3.
Level Postconventional
: pada level ini orang tidak lagi menerima saja
nilai-nilai dan norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat
situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diyakininya.
a.
Social contract orientation
: orang mulai menyadari bahwa orang-
orang memiliki pandangan dan opini pribadi yang sering
bertentangan dan menekankan cara-cara adil dalam mencapai
konsensus dengan perjanjian, kontrak dan proses yang wajar.
b.
Universal ethical principles orientation
. Orang memahami
bahwa suatu tindakan dibenarkan berdasarkan prinsip-prinsip
moral yang dipilih karena secara logis, komprehensif, universal,
dan konsisten.
1.8. Sarana Ilmiah
Dalam berpikir untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah, tentu
tidak terlepas dari alat atau sarana ilmiah. Sarana ilmiah dimaksud meliputi
beberapa hal yaitu bahasa, matematika, statistika, dan logika. Hal ini
mempunyai peranan sangat mendasar bagi manusia dalam proses berpikir
dan mengkomunikasikan maupun mendokumentasikan jalan pikiran manusia.
Bahasa merupakan suatu sistem yang berstruktur dari simbol-
simbol bunyi arbitrer (bermakna) yang dipergunakan oleh para anggota
sesuatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain. Unsur-unsur
yang terdapat di dalamnya meliputi: simbol-simbol vokal arbitrer, suatu
sistem yang berstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer dan yang
dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat
bergaul satu sama lain. Bahasa berfungsi sebagai sarana untuk
menyampaikan pikiran, perasaan dan emosi kepada orang lain, baik
pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif. Hal ini
disebut bahasa ilmiah, tentu beda dengan bahasa agama yaitu kalam ilahi
27

yang terabadikan ke dalam kitab suci dan ungkapan serta perilaku
keagamaan dari suatu kelompok sosial.
Matematika sebagai bahasa yang melambangkan serangkaian
makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan. Fungsi
matematika hampir sama luasnya dengan fungsi bahasa yang berhubungan
dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Matematika merupakan ilmu
deduktif yang memiliki kontribusi dalam perkembangan ilmu alam
maupun ilmu-ilmu sosial.
Statistik mengandung arti kumpulan data yang berbentuk angka-
angka (data kuantitatif). Penelitian untuk mencari ilmu (penelitian
ilmiah), baik berupa survei atau eksperimen, dilakukan lebih cermat dan
teliti dengan menggunakan teknik-teknik statistik. Statistik mempunyai
peranan penting dalam berpikir induktif, jadi bahasa, matematika,
statistik memiliki peranan yang sangat mendasar dalam berpikir logika
dan tidak dapat terlepas satu sama lain dalam berbagai bidang aspek
kehidupan ilmiah manusia.
Logika merupakan sarana berpikir sistematis, valid, cepat, dan
tepat serta dapat dipertanggungjawabkan dalam berpikir logis dibutuhkan
kondisi-kondisi tertentu seperti: mencintai kebenaran, mengetahui apa
yang sedang dikerjakan dan apa yang sedang dikatakan, membuat
perbedaan dan pembagian, mencintai defenisi yang tepat, dan mengetahui
mengapa begitu kesimpulan kita serta menghindari kesalahan-kesalahan.
A. Bahasa
Bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer
yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk
berkomunikasi. Bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbol-
simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu
kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain. Perlu diteliti setiap
unsur yang terdapat di dalamnya. Dengan kemampuan kebahasaan akan
terbentang luas cakrawala berpikir seseorang dan tiada batas dunia
baginya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wittgenstein yang
menyatakan: “batas bahasaku adalah batas duniaku”.
28

Secara umum dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa adalah: (1)
Koordinator kegiatan-kegiatan masyarakat. (2) Penetapan pemikiran dan
pengungkapan.(3) Penyampaian pikiran dan perasaan. (4) Penyenangan
jiwa.(5) Pengurangan kegoncangan jiwa.
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan dalam
proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir dan alat
komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang
lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif.
Dengan kata lain, kegiatan berpikir ilmiah ini sangat berkaitan erat
dengan bahasa. Bahasa ilmiah adalah bahasa yang digunakan dalam
kegiatan ilmiah.
B. Matematika
Banyak sekali ilmu-ilmu sosial sudah mempergunakan matematika
sebagai sosiometri,
psychometri
,
econometri
, dan seterusnya. Hampir
dapat dikatakan bahwa fungsi matematika sama luasnya dengan fungsi
bahasa yang berhubungan dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik,
maka diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika dan statistika.
Penalaran ilmiah menyadarkan kita kepada proses logika deduktif dan
logika induktif. Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir
deduktif, sedangkan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir
induktif.
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian
makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-
lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah
sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka matematika hanya
merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
1. Matematika sebagai Sarana Berpikir Deduktif
Matematika merupakan ilmu deduktif. Nama ilmu deduktif diperoleh
karena penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi tidak didasari
atas pengalaman seperti halnya yang terdapat di dalam ilmu-ilmu
empiris, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi (penjabaran-
penjabaran).
29

2. Matematika untuk Ilmu Alam dan Ilmu Sosial
Kontribusi matematika dalam perkembangan ilmu alam, lebih
ditandai dengan penggunaan lambang-lambang bilangan untuk
penghitungan dan pengukuran, di samping hal lain seperti bahasa,
metode, dan lainnya. Berbeda dengan ilmu sosial yang memiliki
obyek penelahaan yang kompleks dan sulit dalam melakukan
pengamatan, di samping obyek penelaahan yang tak berulang maka
kontribusi matematika tidak mengutamakan pada lambang-lambang
bilangan. Kita akan mempelajari sebuah kelompok sosial dengan
informasi tertentu mengenai perasaan suka dan tidak suka di antara
pasangan manusia. Sebuah grafik adalah suatu bahasa matematis
yang mudah di mana kita dapat mengemukakan struktur semacam itu.
C. Statistik
Pada mulanya, kata “statistik” diartikan sebagai “kumpulan
bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif)
maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif), yang mempunyai
arti penting dan kegunaan besar bagi suatu negara”. Namun pada
perkembangan selanjutnya, arti kata statistik hanya dibatasi pada
kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka (data kuantitatif) saja.
Dalam kamus ilmiah populer, kata statistik berarti tabel, grafik,
daftar informasi, angka-angka, informasi. Sedangkan kata statistika
berarti ilmu pengumpulan, analisis, dan klasifikasi data, angka sebagai
dasar untuk induksi.
Abraham Demoitre (1667-1754) mengembangkan teori galat atau
kekeliruan (
theory of error)
. Pada tahun 1757 Thomas Simpson
menyimpulkan bahwa terdapat sesuatu distribusi yang berlanjut dari
suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak.
Pearson melanjutkan konsep-konsep Galton dan mengembangkan
konsep regresi, korelasi, distribusi, chi-kuadrat, dan analisis statistika
untuk data kualitatif Pearson menulis buku
The Grammar of Science
sebuah karya klasik dalam filsafat ilmu. Penelitian ilmiah, baik yang
berupa survei maupun eksperimen, dilakukan lebih cermat dan teliti
30

dengan mempergunakan teknik-teknik statistik yang diperkembangkan
sesuai dengan kebutuhan.
Tujuan dari pengumpulan data statistik dapat dibagi ke dalam dua
golongan besar, yang secara kasar dapat dirumuskan sebagai tujuan kegiatan
praktis dan kegiatan keilmuan. Perbedaan yang penting dari kedua
kegiatan ini dibentuk oleh kenyataan bahwa dalam kegiatan praktis
hakikat alternatif yang sedang dipertimbangkan telah diketahui, paling
tidak secara prinsip, di mana konsekuensi dalam memilih salah satu dari
alternatif tersebut dapat dievaluasi berdasarkan serangkaian perkembangan
yang akan terjadi. Di pihak lain, kegiatan statistika dalam bidang keilmuan
diterapkan pada pengambilan suatu keputusan yang konsekuensinya sama
sekali belum diketahui.
Pengambilan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita
kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang kita
hadapi. Dalam hal ini statistika memberikan jalan keluar untuk dapat
menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya
sebagian dari populasi yang bersangkutan. Statistika mampu memberikan
secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut,
yakni makin besar contoh yang diambil, maka makin tinggi pula tingkat
ketelitian kesimpulan tersebut.
Hubungan antara Sarana Ilmiah Bahasa, Logika, Matematika dan
Statistika
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam
seluruh proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir
dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada
orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya, maka ilmu merupakan
gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu,
penalaran ilmiah menyandarkan diri kepada proses logika deduktif dan
logika induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam
berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam
berpikir induktif. Jadi keempat sarana ilmiah ini saling berhubungan erat
satu sama lain.
31

Peranan Statistika dalam Tahap-Tahap Metode Keilmuan
Statistika merupakan sekumpulan metode dalam memperoleh
pengetahuan. Metode keilmuan, sejauh apa yang menyangkut metode,
sebenarnya tak lebih dari apa yang dilakukan seseorang dalam
mempergunakan pikirannya, tanpa ada sesuatu pun yang membatasinya.
Statistika diterapkan secara luas dalam hampir semua
pengambilan keputusan dalam bidang manajemen. Statistika diterapkan
dalam penelitian pasar, penelitian produksi, kebijaksanaan penanaman
modal, kontrol kualitas, seleksi pegawai, kerangka percobaan industri,
ramalan ekonomi, auditing, pemilihan risiko dalam pemberian kredit, dan
masih banyak lagi.
D. Logika
Logika berasal dari bahasa latin yakni Logos yang berarti
perkataan atau sabda. Dalam bahasa arab di sebut Mantiq. Logika adalah
sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan
berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar daripada satu. Logis
dalam bahasa sehari-hari kita sebut masuk akal.
Kata Logika dipergunakan pertama kali oleh Zeno dari Citium.
Kaum Sofis, Socrates, dan Plato dianggap sebagai perintis lahirnya
logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan
kaum Stoa. (Russell, dalam Mundiri 2006). Aristoteles meninggalkan
enam buah buku yang oleh murid-muridnya disebut
Organon
. Buku itu
terdiri dari Categoriae (mengenai pengertian-pengertian) De
Interpretatiae (keputusan-keputusan), Analitica Priora (Silogisme),
Analitica Porteriora (pembuktian), Topika (berdebat) dan De Sophisticis
Elenchis (kesalahan-kesalahan berpikir). Theoprostus kemudian
mengembangkan Logika Aristoteles dan kaum Stoa yang mengajukan
bentuk-bentuk berpikir yang sistematis (Angel, dalam Mundiri 2006).
Logika dapat di sistemisasi dalam beberapa golongan:
1. Menurut Kualitas dibagi dua, yakni Logika Naturalis (kecakapan
berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia) dan
32

Logika Artifisialis (logika ilmiah) yang bertugas membantu
Logika Naturalis dalam menunjukkan jalan pemikiran agar lebih
mudah dicerna, lebih teliti, dan lebih efisien.
2. Menurut Metode dibagi dua yakni Logika Tradisional yakni
logika yang mengikuti aristotelian dan Logika Modern
3. Menurut Objek dibagi dua yakni Logika Formal (deduktif dan
induktif) dan Logika Material.
Dalam permasalahan logika satuan proposisi terkecil yakni
“kata”. Kata menjadi penting karena merupakan unsur dalam membentuk
pemikiran. Pada praktiknya kata dapat dilihat berdasarkan beberapa
pengertian yakni
positif
(penegasan adanya sesuatu),
negatif
(tidak
adanya sesuatu),
universal
(mengikat keseluruhan),
partikular
(mengikat
keseluruhan tapi tak banyak),
singular
(mengikat sedikit/terbatas),
konkret
(menunjuk sebuah benda),
abstrak
(menunjuk sifat, keadaan,
kegiatan yang terlepas dari objek tertentu),
mutlak
(dapat difahami
sendiri tanpa hubungan dengan benda lain),
relatif
(dapat difahami
sendiri jika ada hubungan dengan benda lain),
bermakna/tak bermakna.
Selain itu kata juga dilihat berdasarkan predikatnya.
Selanjutnya adalah defenisi. Defenisi adalah karakteristik
beberapa kelompok kata. Karakteristik berarti melihat jenis dan sifat
pembeda. Jadi mendefenisikan berarti menganalisis jenis dan sifat
pembeda yang dikandungnya. Agar membuat defenisi terhindar dari
kekeliruan ada bebrapa hal yang perlu diperhatikan yakni: (a) defenisi
tidak boleh luas atau lebih sempit dari konotasi kata yang didefenisikan
(b) tidak menggunakan kata yang didefenisikan (c) tidak memakai
penjelasan yang justru membingungkan (d) tidak menggunakan bentuk
negatif.
Klasifikasi adalah pengelompokan barang yang sama dan
memisahkan dari yang berbeda menurut spesiesnya. Ada dua cara dalam
membuat klasifikasi yakni Pembagian (logical division) dan
Pengolongan.
33